Cnnindonesia.com – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengakui aturan terkait larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri menjadi anggota legislatif masih bisa dipersoalkan dan dibatalkan. Aturan itu tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) untuk Pemilu 2019.
Arief mencontohkan upaya membatalkan aturan itu dengan cara mengajukan gugatan atau uji materi terhadap PKPU tersebut ke Mahkamah Agung (MA). Namun langkah itu bisa dilakukan setelah Menteri Hukum dan HAM menandatangani PKPU tersebut.
“Peraturan KPU bukan sesuatu yang tidak bisa diapa-apakan. Diubah, diperbaiki, tentu bisa. Tapi cara mengubah, memperbaiki itu sudah diatur juga dalam peraturan perundangan. Siapapun boleh, kalau kamu mau calon dan tidak setuju dengan peraturan itu, silahkan mengajukan judical review di Mahkamah Agung,” kata Arief di KPU, Jakarta Pusat, Minggu (1/7).
Senada dengan Arief, pakar hukum tata negara Hamdan Zoelva mengatakan bahwa upaya hukum mengajukan uji materi ke MA bisa dilakukan demi membatalkan aturan tersebut.
Bahkan, menurut Hamdan, besar kemungkinan aturan itu akan dibatalkan karena bertentangan dengan aturan di atasnya, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
“PKPU yang melarang mantan terpidana korupsi mengikuti Pemilu Legislatif 2019, ini bertentangan dengan Undang-Undang. PKPU tersebut sangat potensial untuk dibatalkan oleh pengadilan (Mahkamah Agung),” ujarnya.
“Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah penyelenggara pemilu yang tidak berwenang mengatur sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang,” kata Hamdan melalui keterangan tertulisnya, Minggu.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini juga menyoroti soal sikap Kemenkumham. Menurut dia, Menkumham tidak bisa menolak menandatangani draf PKPU yang sudah dibuat KPU.
“Karena, Kemenkum HAM hanya memiliki kewenangan administrative untuk mengundangkan, tidak berwenang menilai materinya,” kata dia.
Aturan larangan bagi mantan koruptor mencalonkan diri jadi anggota legislatif mempunyai latar belakang polemik yang cukup panjang. Sebelumnya, draf PKPU sudah dikirimkan ke Kemenkumham tapi justru dikembalikan karena aturan tersebut untuk dikaji kembali.
Kini KPU merasa cukup dengan berbagai pertimbangannya dan memilih tetap memasukan aturan tersebut. Aturan itu ditandatangani Ketua KPU Arief Budiman hari ini, Minggu (1/7).
Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi beberapa waktu lalu menjelaskan, larangan itu merupakan langkah yang baik dalam rangka menciptakan pemilu yang bersih.
KPU, kata dia, juga siap menghadapi gugatan di MA jika nanti ada yang mempersoalkan.
“Ya kita akan siapkan argumen dan penjelas dan lain-lain. Sebab kami senang jika aturan yang kami buat itu, nanti kami akan bisa beradu argumen di forum di MA,” katanya di gedung DPR, Jakarta, Rabu (23/5).
Sikap KPU ini didukung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketua KPK Agus Rahardjo berpendapat, masih banyak tokoh yang bersih dari kasus korupsi dan lebih patut menjadi calon anggota legislatif.
“Di dalam perjalanan (hidupnya), yang bersangkutan kan sudah tidak lulus. Ya masa kita dorong untuk terus masuk kan (jadi caleg),” kata Agus.
Pemerintah dan DPR Kompak Tak Setuju
Di sisi lain, Pemerintah melalui Kemenkumham serta Kemendagri, dan DPR menyatakan tidak setuju jika aturan tersebut dimasukkan ke dalam PKPU karena dianggap menabrak aturan di atasnya, yakni Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
DPR dalam pembuatan UU Pemilu mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42/PUU-XIII/2015 pada 9 Juli 2015 yang didalamnya memberikan peluang bagi mantan koruptor menjadi calon anggota legislatif.
Dalam putusan nomor 42 itu, MK menyebut seseorang yang telah menjalani hukuman dan keluar dari penjara atau lembaga pemasyarakatan pada dasarnya adalah orang yang telah menyesali perbuatannya, telah bertaubat, dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Dengan demikian, seorang mantan narapidana yang sudah bertaubat tidak tepat jika diberikan hukuman lagi seperti yang ditentukan dalam Pasal 7 huruf g UU Nomor 8 tahun 2015 Tentang Pemilukada Gubernur, Bupati Dan Walikota, yakni tidak boleh mencalonkan diri dalam pemilihan.
Oleh karena keputusan MK dan UU Pemilu tidak melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg, maka PKPU yang notabene berada di bawah UU Pemilu sedianya tidak bertentangan.
Penolakan atas sikap KPU juga ditunjukkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menilai KPU melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat jika tetap membuat aturan larangan bagi mantan koruptor mendaftar sebagai calon legislatif.
Menurut Fritz, KPU tidak punya dasar untuk menghapus hak para eks koruptor untuk memilih dan dipilih.
“Bagi kami itu tidak sekadar melanggar undang-undang, tapi melanggar HAM berat. Kenapa? Karena hak orang untuk dipilih telah dihilangkan oleh peraturan KPU,” kata Fritz saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis (24/5) lalu.