FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Persoalan hukum yang menjerat kader Golkar Eni Maulani Saragih menuai komentar Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Dirinya mengaku pasrah dan memasrahkan nasib Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Seperti diketahui, Eni yang terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) saat berada di rumah Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham itu, sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1.
Bahkan, Airlangga juga mengaku pasrah dengan mantan sekjen DPP Golkar Idrus Marham, yang ikut digarap lembaga antirasuah sebagai saksi dalam kasus tersebut.
“Tentu kami prihatin terhadap kader-kader yang terkena masalah hukum. Dan tentunya kami menyerahkan itu sepenuhnya kepada hukum,” ucap Airlangga di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (20/7).
Saat ditanya apakah OTT terhadap Eni dan pemeriksaan Idrus oleh KPK berpotensi mempengaruhi elektabilitas Golkar menjelang Pemilu 2019? Airlangga tidak menjawab secara gamblang, namun dirinya menyatakan bahwa Golkar telah mewanti-wanti kader untuk tidak terlibat korupsi.
“Kami sudah mengatakan kepada seluruh anggota fraksi Partai Golkar, dan juga sudah membuat surat edaran yang ditandatangani oleh ketua fraksi bahwa hal-hal yang terkait dengan masalah hukum seperti itu dilarang. Tentunya apabila ini dilarang maka konsekuensinya jelas,” jelasnya.
Khusus untuk Eni, tambahnya, DPP Golkar telah menunjuk penggantinya sebagai wakil ketua komisi bidang energi, yakni Ridwan Hisyam. “Sudah kita siapkan penggantinya,” pungkas Airlangga.
Sebelumnya, jurubicara KPK Febri Diansyah mengatakan penyidik memeriksa Mensos Idrus Marham untuk mengklarifikasi pertemuan dengan Eni.
“Saksi Idrus Marham diperiksa KPK untuk mengklarifikasi pertemuan bersama tersangka EMS yang diketahui atau dihadiri langsung oleh saksi,” tutur Febri pada awak media, di Gedung Merah Putih, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (19/7).
Sebagai informasi, KPK menetapkan dua orang sebagai tersangka, yaitu Eni Maulani Saragih (EMS) yang merupakan anggota Komisi VII DPR RI sebagai pihak penerima dan Johannes Buditrisno Kotjo (JBK) yang merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited sebagai pihak pemberi.
Dalam kasus ini, sebagai anggota DPR RI Eni disebut menerima komitmen fee sebanyak Rp 4,8 miliar dari Johannes yang merupakan pihak swasta. Penerimaan ini dilakukan sebanyak empat kali dengan nominal yang berbeda dan yang terakhir penerimaan uang oleh Eni sebesar Rp 500 juta. Uang tersebut kemudian disita dan dijadikan alat bukti oleh penyidik KPK.
Sebagai pihak penerima, Eni kemudian disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 juncto Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.
Sementara sebagai pihak pemberi, Johannes yang merupakan pihak swasta disangkakan melanggar pasal melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001.
Baca Juga : Advokat Nyaleg, Ada Wajah Baru dalam Daftar Calon Legislatif