TEMPO.CO, Jakarta – Kasus TKI bermasalah meningkat. Pada Januari 2018 sampai Maret 2018 Serikat Buruh Migran Indonesia atau SBMI menangani sekitar 800 kasus. Jumlah ini naik jika dibanding 2016-2017, dimana SBMI menangani 1.500 kasus.
Menurut Ketua Umum SBMI, Hariyanto, naiknya kasus TKI bermasalah bukan menandakan banyaknya pelanggaran. Namun ini bisa berarti semakin tinggi kesadaran para buruh migran terhadap pelanggaran hukum.
“Dulu kasus TKI bermasalah juga terjadi, tetapi banyak korban memilih bungkam, diantaranya karena tidak tahu harus mengadu kemana. Sekarang, TKI sudah banyak yang sadar hukum dan menakisme pelaporan kasus yang sudah berjalan. Akan tetapi, ini juga berarti jumlah TKI bermasalah masih belum bisa ditekan,” kata Hariyanto kepada Tempo, 6 Mei 2018 di Bandung, Jawa Barat.
Hariyanto menjelaskan, banyak calon TKI yang lebih tebuai dengan iming-iming gaji besar bekerja sebagai buruh migran di luar negeri dari pada mempertimbangkan risikonya. Dia menekankan, keluarga adalah faktor yang harus benar-benar dipertimbangkan dan harus ada kesepakatan jelas dengan keluarga yang ditinggalkan soal siapa yang akan merawat anak dan pembagian peran. Sebab ketika seorang TKI menghadapi permasalahan di negara tempatnya bekerja, keluarga di tanah air juga ikut menderita.
Setidaknya ini terjadi pada kasus TKI bernama Tuti Tursilawati asal Majalengka, yang ayahnya meninggal dunia tak lama saat mengetahui anaknya menjadi korban perkosaan dan dugaan melakukan pembunuhan terhadap majikan yang acap melecehkannya.
Agar bisa menjadi TKI sukses dan aman, Hariyanto pun memberikan tips. Pertama, seorang calon TKI harus faham hukum dan budaya negara penempatan. Kedua calon TKI harus tahu hak dan kewajibannya. TKI harus berani menuntut haknya.
Ketiga, seorang TKI harus siap dengan risiko. Artinya, menyiapkan mental dan berkomitmen untuk menjadi buruh migran yang bermartabat.
Baca Juga : Badan Hukum Dicabut, HTI Akan Tetap Lanjutkan Dakwah