TEMPO.CO, Jakarta -Digagas sejak lebih tiga tahun lalu hingga kini revisi Undang-Undang tentang Narkotika belum juga masuk ke DPR. Padahal, jika pemerintah segera menyelesaikan draf revisi UU No.35/2009 tersebut, DPR, seperti dikemukakan Ketuanya, Bambang Soesatyo, siap untuk segera membahas.
Pekan lalu Bambang Soesatyo menyinggung kembali draf revisi UU Narkotika yang belum juga masuk dari pemerintah. Lewat keterangan tertulisnya Bambang meminta pemerintah segera mempercepat pengajuan draf revisi UU Narkotika. Menurut Bambang DPR dalam posisi menunggu pemerintah menyerahkan RUU Narkotika.
Kendati demikian, bukan berarti DPR diam. Pimpinan DPR, katanya, sudah memerintahkan Badan Legislasi DPR mengkaji sejumlah permasalahan krusial dalam pemberantasan narkotika. Beberapa hal yang diminta untuk dikaji antara lain: percepatan eksekusi mati bandar narkotika, ketentuan mengenai rehabilitasi pengguna narkotika, hingga aturan agar narkoba tidak dijadikan alat untuk memeras korban.
Mengutip temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Bambang menyebut kini dari sekitar 87 juta anak Indonesia, sekitar 5,9 juta diantaranya pecandu narkoba. Ia juga menyebut ada sekitar 72 jaringan narkoba internasional yang masuk ke Indonesia.
UU Narkotika yang sekarang berlaku dipandang tak lagi cukup menangkal semakin marak dan banyaknya korban narkoba. Salah satu kelemahannya, misalnya, banyak jenis narkoba belum masuk dalam UU No. 35/1999. Karena itu, menurut Nasir Djamil, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, revisi UU Narkotika akan memasukkan jenis-jenis narkoba yang belum masuk itu. Hal lain yang direvisi adalah masalah kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN) termasuk hubungannya dengan lembaga lain yang erat kaitannya dengan pemberantasan peredaran narkotika seperti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Sejumlah aktivis hukum meminta revisi UU Narkotika tidak mengarah pada kriminalisasi pengguna yang notabene adalah korban. Terhadap hal ini, dalam sebuah diskusi yang membahas revisi UU Narkotika, Yoseph Yody, Staf Direktorat Pascarehabilitasi Badan Narkotika Nasional menegaskan, revisi itu tidak akan mempidanakan penyalagunaan narkotika. Para pengguna akan dimasukkan ke pusat rehabilitasi.
Selama ini, para pengguna narkoba, yang tertangkap dan diadili, lebih banyak yang masuk ke lembaga pemasyarakatan ketimbang pusat rehabilitasi. Itu sebabnya hampir di seluruh lembaga pemasyarakatan, lebih dari separuh penghuninya adalah para terpidana kasus narkoba. Karena itu, dalam revisi nanti, menurut Yoseph akan dipakai minimal kuantitas narkotika sebagai acuan dalam kategorisasi penyalahgunaan dan kriminal. Acuan tersebut tak akan berbeda jauh dengan Surat Edaran Mahkamah Agung yang dijadikan acuan hakim membedakan antara penyalahguna dan kriminal.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menekankan revisi UU itu harus bertujuan untuk menyelamatkan nyawa pengguna dan pecandu. Dan tujuan ini, menurut ICJR, tak akan tercapai jika masih memakai pendekatan pidana seperti yang kini ada dalam UU Narkotika. Menurut ICJR harus ada kebijakan dekriminalisasi terhadap pengguna. Isu narkotika tak bisa lepas dari isu kesehatan. Karena itu pecandu harus dilihat sebagai pasien tidak penjahat.
Ada tiga rekomendasi yang diberikan ICJR berkaitan dengan revisi UU Narkotika. Pertama, dekriminalisasi pengguna serta pembatasan yang jelas dalam mengidentifikasi pengguna dan pecandu Narkotika; kedua memperkuat pusat rehabilitasi untuk pengguna dan pecandu, dan ketiga penyelesaikan masalah fair trial di dalam peradilan pidana.
Kepada wartawan di Istana Negara, Selasa, 6 Maret 2018, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menyatakan pihaknya akan segera membahas draf revisi UU Narkotika dengan lembaga lain, termasuk Badan Narkotika Nasional (BNN). “Kami akan meminta masukan dari Kepala BNN,” kata Yasonna,
BNN sendiri sudah melakukan rapat dengan DPR terkait revisi UU Narkotika. Beberapa yang dibahas berkaitan dengan revisi itu, antara lain, nomenklatur UU Nomor 35 tahun 2009 tidak semata tentang narkotika, tapi narkotika dan zat psikoaktif, juga terhadap bandar narkoba tidak hanya dijerat dengan hukuman tindak pidana pencucian uang tapi juga muncul wacana untuk dicabut hak-hak sipilnya.
Kepala BNN Irjen Heru Winarko menyatakan lembaganya berkeinginan untuk mengadopsi pola kerja KPK untuk memerangi narkoba, yakni BNN memiliki kewenangan melakukan penyadapan. *
Poin-poin Revisi UU Narkotika
Penguatan pada sektor penindakan
Pengawasan
Sanksi hukum
Penguatan Penyadapan
Penegasan terkait dengan pemakai dan kurir
Penguatan jumlah aparat dan sarana prasarana
Baca Juga : MD3 Mulai Berlaku, Ketua DPR Jamin Pengkritik Tidak Jadi Korban