JawaPos.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap hakim berinisial WWN dan panitera pengganti Pengadilan Negeri (PN) Tangerang berinisial TA. Hal ini bukan kali pertama oknum lembaga peradilan ditangkap oleh lembaga antirasuah lantaran menerima suap.
Menanggapi hal ini, pakar hukum dari Universitas Trisaksi Abdul Fikchar Hadjar menyatakan, hal itu membuktikan jika orang-orang yang berada di lembaga peradilan mudah diberi suap, sehingga hukum di negara ini dapat dibeli.
“Perbaikan dan pengawasan terus dilakukan, tapi oknum di pengadilan tetap bebal tidak ada takutnya. hakim dan panitera serta pegawai lainnya sama saja,” kata Fikchar saat dihubungi JawaPos.com, Selasa (13/3).
Bahkan Fikchar menduga, hakim yang baru masuk ke pengadilan mudah dikendalikan oleh panitera. “Jadi Mahkamah Agung (MA) harus memperhatikan ini,” terang Fikchar.
Oleh karena itu, Fikchar berpendapat MA harus memberi teladan kepada hakim dan panitera untuk dapat hidup sederhana. “Jangan berolahraga yang mewah mewah seperti golf, tenis dan lainnya,” ucap Fikchar.
Tak hanya itu, Fikchar meminta MA untuk tidak membebani peradilan dengan biaya kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. “Seperti peringatan hari ulang tahun, perpisahan, syukuran pengangkatan dan lainnya,” ungkap Fikchar.
Meski demikian, Fikchar meminta MA untuk dapat menindak tegas oknum di lembaga peradilan apabila terbukti melanggar etik atau hukum.
“Harus melakukan tindakan tegas terhadap oknum pengadilan baik hakim, panitera dan pegawai lainnya,” pungkasnya.
Sebelumnya, Tim Satgas KPK kembali menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Senin (12/3) kemarin. Kali ini, KPK menangkap tangan oknum penegak hukum yakni seorang hakim berinisial WWN panitera pengganti Pengadilan Negeri Tangerang berinisial TA. KPK Juga menangkap penasihat hukum berinisila HMS berserta staff nya AW, beserta tiga pihak lain.
Diduga, oknum hakim dan panitera pengganti di PN Tangerang tersebut terseret kasus dugaan suap pemulusan perkara perdata di wilayah hukumnya itu.
Baca Juga : Bawaslu: Kasus Hukum Calon Kepala Daerah Bisa Dilanjutkan