JPNN.COM – Adanya provokasi terorisme yang disampaikan dalam pengajian terbuka tidak bisa dijerat karena lemahnya instrumen hukum. UU Terorisme yang ada dinilai sudah ketinggalan dan perlu diperbarui.
Demikian benang merah perbincangan pengamat terorisme Solahudin dari Universitas Indonesia dengan wartawan ABC Australia Farid M. Ibrahim.
Dr Solahudin baru saja menyelesaikan program dosen tamu pada Melbourne University dan menyampaikan kuliah umum Selasa (6/3/2018) malam mengenai para jihadis yang kembali ke Indonesia setelah kekalahan ISIS di Suriah dan Irak.
“Perangkat hukum tidak memadai untuk memproses para jihadis yang kembali ke tanah air kecuali mereka melakukan pelanggaran hukum di Indonesia,” katanya.
Dia menjelaskan, ada kesulitan penegak hukum terkait dengan locus delicti dalam penerapan UU Terorisme terhadap para jihadis yang telah kembali.
“UU kita menyebut bahwa terorisme sebagai kejahatan harus terjadi di wilayah Indonesia untuk bisa dijerat oleh hukum Indonesia. Kalau terjadi di negara lain, maka hukum kita tidak menjangkau,” jelasnya.
Solahudin mengusulkan perlunya UU Terorisme segera direvisi untuk mencakup ketentuan mengenai para jihadis asal Indonesia yang ikut dalam konflik di negara lain.
“UU Terorisme kita dibuat sebagai reaksi atas peristiwa Bom Bali tahun 2002,” katanya.
“Pemerintah sudah berupaya merevisinya namun tampaknya banyak konflik kepentingan di dalamnya antara pihak kepolisian dan militer,” kata Solahudin.
Pihak militer misalnya, ingin memperluas cakupan terorisme guna menjerat kelompok-kelompok separatis bersenjata termasuk Organisasi Papua Merdeka.
Korupsi di ISIS
Dalam penelitiannya, Dr Solahudin mewawancarai puluhan jihadis yang telah kembali ke tanah air.
Menurut dia, kebanyakan di antaranya mengalami disilusi karena propaganda ideologi ISIS yang mereka terima tidaklah sama dengan realitas di lapangan.
“Ada di antaranya yang menyampaikan ke saya bahwa mereka pergi ke Suriah karena dijanjikan gaji yang lumayan,” katanya.
“Namun ternyata koordinator untuk pejuang ISIS asal Indonesia tidak pernah membagikan uang makan kepada anggotanya,” tambah Solahudin.
“Makanya mereka memutuskan untuk berhenti dari ISIS di tahun 2015 dan menuduh adanya korupsi dalam kelompok itu,” ujarnya.
Solahudin mengatakan pemerintah telah menangkap mayoritas eks pejuang ISIS yang kembali ke Indonesia namun tidak diajukan ke pengadilan dengan tuduhan terorisme.
“Hanya 5 mantan pejuang ISIS yang telah kembali, ditangkap dan dan dituntut merencanakan serangan teror di Indonesia. Selain itu ada satu orang lain yang dituntut memfasilitasi rencana penyerangan teror oleh anggota ISIS yang kembali ke Indonesia,” paparnya.
Para jihadis dan keluarganya yang tidak dipandang berbahaya kemudian diikutkan dalam program rehabilitasi dan deradikalisasi baik melalui Depsos maupun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Menurut solahudin, penting juga untuk melihat afiliasi para jihadis yang telah kembali.
Pasalnya, kata dia, mereka yang berafiliasi dengan kelompok Salafi, tidak menganggap jihad perlu dilakukan di Indonesia karena negara ini dianggap sebagai negara Muslim.
“Para pengikut Salafi umumnya kembali ke Indonesia setelah melaksanakan tugas mereka seperti menyalurkan bantuan kemanusiaan,” ujarnya.
“Mereka tidak pernah membenarkan tindak kekerasan di Indonesia,” kata Solahudin.
Baca Juga : Fredrich Yunadi Melawan Hakim…