JAKARTA, KOMPAS.com – Aktivis Indonesia Corruption Watch ( ICW ) Donal Fariz menilai sektor hukum tidak mendapatkan perhatian dalam era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Hal ini bisa dilihat dari kisruh pengesahan revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD menjadi Undang-Undang MD3.
Pemerintah dan DPR sudah mengesahkan revisi tersebut dalam rapat paripurna beberapa waktu lalu. Namun, belakangan muncul kritik dari masyarakat karena tiga pasal dalam UU itu dianggap memberikan kuasa berlebih kepada DPR.
Setelah muncul penolakan publik, Presiden Joko Widodo pun mempertimbangkan untuk tidak menandatangani UU MD3.
Donal menilai, hal yang kontraproduktif ini bisa terjadi karena sejak awal Jokowi tak pernah memberikan perhatian pada sektor hukum.
“Hukum terpinggirkan di rezim Jokowi. Pemerintah sibuk membangun infrastruktur fisik, tapi infrastruktur hukum dan demokrasi terabaikan,” kata Donal dalam diskusi di Jakarta, Jumat (23/2/2018).
Donal menambahkan, terabaikannya sektor hukum di era Jokowi juga bisa dilihat dari tidak adanya pakar-pakar hukum yang profesional baik di kabinet maupun di lingkar istana.
Posisi penting seperti Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, hingga Jaksa Agung justru diisi oleh politisi.
“Coba sebutkan siapa pakar hukum yang ada di pemerintahan Jokowi? Enggak ada,” kata Donal Fariz.
Bahkan, Donal melihat pakar-pakar hukum tidak pernah diundang ke Istana Kepresidenan untuk melakukan diskusi. Jokowi hanya sibuk mengundang tokoh agama. Selain itu, Jokowi juga sibuk mengundang kelompok seniman, budayawan dan pegiat media sosial.
“Tapi tidak pernah terjadi dialog-dialog tentang masalah hukum seperti di era SBY dulu,” ucap Donal.
Donal pun meminta Jokowi mengambil langkah konkret apabila tidak sepakat dengan sejumlah pasal kontroversial dalam UU MD3. Dia menilai, tidak cukup apabila Jokowi tidak menandatangani UU tersebut.
Sebab, apabila tidak ditandatangani Jokowi, UU MD3 tetap otomatis berlaku setelah 30 hari disahkan.
“Tanda tangan itu hanya formalitas saja,” ucap Donal.
Catatan Kompas.com, ada tiga pasal dalam UU MD3 yang mendapat penolakan dari publik. Pertama, Pasal 73. Pasal itu mewajibkan polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR namun enggan datang.
Lalu, Pasal 122 huruf k, di mana Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Ada juga Pasal 245 yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR oleh aparat penegak hukum harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin.
Baca Juga : Eksepsi Fredrich Yunadi Ditolak Jaksa KPK: Dakwaan Penuhi Syarat