RMOL.Co, – KEPALA Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Pol. Drs. Budi Waseso akan memasuki masa pensiun pada Maret 2018. Tidak sedikit juga pihak yang senang jika dirinya pensiun dan tak lagi menjabat sebagai kepala BNN. Mereka yang senang, terutama berasal dari pihak yang tidak suka dengan ketegasan maupun kebijakannya dalam memberantas narkotika dan prekursor narkotika serta tindakan memiskinkan sindikat bandar narkotika dan prekursor narkotika melalui penegakan hukum tindak pidana pencucian uang.
Syarat-syarat untuk diangkat menjadi Kepala BNN berdasarkan Pasal 69 UU No. 35/2009 tentang Narkotika, sebagai berikut: a. Warga negara Republik Indonesia; b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Sehat jasmani dan rohani; d. Berijazah paling rendah strata 1 (satu); e. Berpengalaman paling singkat 5 tahun dalam penegakan hukum dan paling singkat 2 tahun dalam pemberantasan Narkotika; f. Berusia paling tinggi 56 tahun; g. Cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi dan memiliki reputasi yang baik; h. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela; i. Tidak menjadi pengurus partai politik; j. Bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama menjabat kepala BNN.
Merujuk kepada syarat-syarat di atas, hal utama yang menjadi perhatian penulis saat ini, adalah : Pasal 69 huruf e UU 35/2009 tentang Narkotika, yang berbunyi: “Berpengalaman paling singkat 5 tahun dalam penegakan hukum dan paling singkat 2 tahun dalam pemberantasan Narkotika”.
Penulis berpendapat bahwa Pasal 69 huruf e UU No. 35/2009 tentang Narkotika merupakan syarat khusus yang ditentukan oleh UU ini, yang mencerminkan betapa seorang Kepala BNN tidak hanya dituntut harus memiliki kemampuan yang mumpuni dalam penyidikan suatu perkara pidana namun lebih dari itu dipersyaratkan juga adanya pengalaman khusus dalam pemberantasan narkotika. Hal ini mengingat bahwa kejahatan narkotika adalah kejahatan yang memiliki karakter yang berbeda dengan kejahatan konvensional lainnya.
Akan sangat sulit bagi seorang Kepala BNN untuk melaksanakan tugas dan fungsi dengan baik apabila yang bersangkutan tidak memahami kejahatan narkotika (yang memiliki karakter khusus). Menjadi Kepala BNN tidak cukup hanya menitikberatkan kepada aspek manajerial saja, kompleksitas permasalahan narkotika membutuhkan sosok pemimpin yang memahami karakter kejahatan ini dengan baik serta dampak multidimensional yang ditimbulkan, mengingat saat ini di wilayah hukum Indonesia terdapat 72 jaringan sindikat narkotika yang memiliki sel-sel penyebarannya.
Memang Komjen Budi Waseso sebenarnya pada saat diangkat menjadi Kepala BNN belum secara eksplisit memenuhi persyaratan pengalaman sebagaimana disebutkan dalam pasal 69 huruf e UU No. 35/2009 tentang Narkotika. Namun harus diakui bahwa sosok Budi Waseso yang ‘high profile’ serta dinamika politik pada saat itu membuat tidak adanya penolokan terhadap yang bersangkutan. Perjalanan waktu dan kinerja yang ditunjukkan oleh Buwas selanjutnya juga mendapat apresiasi dari banyak pihak.
Apa yang menjadi konsekwensi hukum apabila Presiden RI melalui Keputusan Presiden mengangkat seorang Kepala BNN yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 69 Undang-undang No. 35/2009 tentang Narkotika?
Penulis berpendapat sebagai berikut: Untuk mengetahui apakah Keputusan Presiden (Keppres) termasuk keputusan Tata Usaha Negara (TUN) yang dapat digugat atau tidak pada pengadilan TUN, terlebih dahulu kita memahami apa yang dimaksud dengan Keputusan TUN. Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 51/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 51/2009:) yang berbunyi:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Indroharto dalam bukunya yang berjudul Perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, mengatakan bahwa suatu penetepan tertulis (beschikking) itu selalu merupakan salah satu bentuk dari Keputusan Badan atau Jabatan TUN yang merupakan suatu tindakan hukum TUN (administratieve rechtschandeling) (hal. 117).
Sedangkan Keputusan Presiden (Keppres) adalah norma hukum yang bersifat konkret, individual, dan sekali selesai (contoh: Keputusan Presiden Nomor 115P/2016 tentang pengangkatan Wakil Menteri ESDM tanggal 14 Oktober 2016 Arcandra Tahar. Kecuali untuk Keputusan Presiden yang sampai saat ini masih berlaku dan mengatur hal yang umum contohnya Keppres No. 63/2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional, maka berdasarkan Pasal 100 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”), Keppres tersebut harus dimaknai sebagai peraturan.
Berdasarkan pengertian Keputusan TUN dan pendapat Indroharto di atas dapat disimpulkan bahwa Keppres merupakan suatu tindakan hukum TUN yang dikeluarkan oleh Presiden dalam bentuk penetapan tertulis sehingga merupakan suatu Keputusan TUN. Dengan catatan, Keppres tersebut bersifat konkret, individual, dan final sehingga tidak dimaknai sebagai peraturan yang mengatur hal umum.
Apakah Keppres dapat digugat di pengadilan TUN, Penulis perlu menguraikan terlebih dahulu sifat-sifat sebuah keputusan TUN yang menjadi kewenangan pengadilan TUN (penjelasan Pasal 1 Angka 3 UU UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”).
1. Konkret dan Individual
Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai, Izin usaha bagi si A, pemberhentian si B sebagai pegawai negeri.
Keppres harus bersifat konkret, yakni Keppres itu harus berwujud dan berupa hal tertentu, seperti misalnya pengangkatan seseorang sebagai pegawai negeri.
Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang perbuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut.
Dalam Keppres perlu jelas pula termuat nama orang yang terkena Keppres tersebut, di sinilah pentingnya sifat individual yang dimaksud.
2. Final
Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Keppres tersebut juga harus berlaku tanpa harus menunggu persetujuan dari badan atau pejabat lain.
Dengan demikian yang menjadi konsekwensi hukum apabila Presiden RI melalui Keputusan Presiden mengangkat seorang Kepala BNN yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 69 Undang-undang No. 35/2009 tentang Narkotika, maka menurut hemat Penulis Keppres tersebut merupakan keputusan TUN yang dapat digugat ke pengadilan TUN oleh pihak yang berkepentingan untuk dimintakan putusan pengadilan.
Siapa pihak-pihak yang dapat menggugat Keputusan TUN. Hal ini berkaitan dengan legal standing para penggugat yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU 9/2004 berbunyi: “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi”.
Menurut penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU 9/2004, hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara. Badan atau Pejabat TUN tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN untuk menggugat Keputusan TUN.
Selanjutnya hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan terkena oleh akibat hukum Keputusan TUN/Keppres yang dikeluarkan dan karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan TUN.
Contoh yang masih dalam ingatan kita, Keppres yang digugat ke pengadilan TUN adalah dibatalkannya Keppres No 87/P/2013 yang berisi tentang Pengangkatan Patrialis Akbar sebagai Hakim Konstitusi. Pengadilan TUN Jakarta menilai Keppres tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang terakhir diubah dengan UU 8/2011.
Semoga Presiden Jokowi tidak salah dalam menentukan Kepala BNN yang baru sebagaimana keinginan beliau sejak 2015 lalu, Presiden Joko Widodo sudah menyatakan perang terhadap narkoba. Presiden menganggap kejahatan narkoba masuk dalam golongan kejahatan luar biasa, terlebih lagi kejahatan narkoba yang terjadi di lintas negara dan terorganisasi sehingga menjadi ancaman nyata yang membutuhkan penanganan serius. Masyarakat berharap banyak dengan Presiden Jokowi.
Tetap jaya BNN dalam pemberantasan narkotika dan prekursor narkotika.
Baca Juga : 100 Hari Anies-Sandi dan Hampanya Pijakan Hukum