okezone.com, JAKARTA – Kebijakan pembentukan holding BUMN Pertambangan mendapat penolakan dari sejumlah kalangan karena dinilai tidak mempunyai rancangan besar dan berpotensi membahayakan kepentingan nasional.
“Pembentukan holding BUMN Pertambangan cacat hukum dan berpotensi merugikan negara. Karena itu kami akan menggugat Peraturan Pemerintah (PP) No 47 Tahun 2017,” kata Pengamat Hukum Sumber Daya Alam dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi di Jakarta, kemarin.
Menurut Redi yang juga inisiator penggugat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menjelaskan bahwa PP No 47 tersebut melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) BUMN dan UU Keuangan Negara, sehingga tidak sesuai dengan tujuan Undang-Undang Dasar (UUD 45) pasal 33 ayat 2 dan 3.
“PP 47 ini bertentangan dengan peraturan yang ada. Kementerian BUMN mengalihkan saham tanpa melalui persetujuan DPR yang seharusnya berperan sebagai fungsi pengawas BUMN. Karena itu kita akan gugat ke Mahkamah Agung (MA) pada minggu pertama Januari 2018 ini. Draf materinya sudah kita susun,” tegas dia.
Sebagaimana diketahui kebijakan holding BUMN Tambang tersebut mengalihkan saham seri B yang terdiri atas PT Aneka Tambang (Antam) Tbk sebesar 65 persen, PT Bukit Asam (PT BA) Tbk sebesar 65,02 persen, PT Timah Tbk sebesar 65 persen, serta 9,36 persen saham PT Freeport Indonesia yang dimiliki pemerintah kepada PT Inalum (Persero).
Artinya dengan penguasaan saham mayoritas yang dimiliki pemerintah pada Antam, PT BA, PT Timah dan dialihkan atau diberikan kepada PT Inalum sebagai bentuk penyertaan modal, maka ketiga dari perusahaan tersebut menjadi anak perusahaan PT Inalum.
Konsekuensinya, ketiga perusahaan yakin PTBA, Antam dan Timah yang tadinya merupakan perusahaan BUMN yang berdiri sendiri karena sahamnya secara langsung dimiliki oleh pemerintah, dan penugasan pelayanan kepada publik (PSO) sekarang statusnya bukan lagi BUMN dan tidak lagi memiliki kewajiban PSO sejak sahamnya dialihkan ke Inalum.
“Perlu dipahami, anak usaha BUMN bukan lagi BUMN, sehingga dia tidak lagi memiliki kewajiban PSO. Tentu ini sangat merugikan publik,” ujar dia.
Tidak hanya itu, karena dia bukan lagi perusahaan BUMN maka ketiga perusahaan tersebut terhindar dari pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPK) dan Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“KPK dan BPK tidak bisa masuk. Ini rentan terjadi penyimpangan. Kita akan segera gugat, legal standing kita jelas secara hukum,” kata dia.
Selain Ahmad Redi, beberapa tokoh dan lembaga yang telah bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk menggugat PP No 47 di antaranya terdapat Pengamat Kebijakan Publik yakni Agus Pambagio, Ketua Departemen Riset Teknologi dan Energi Sumber Daya Mineral KAHMI yaitu Lukman Malanuang, Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) dan beberapa lembaga lainnya.
“Koalisi Masyarakat Sipil bersikap terbuka bagi pihak siapa saja yang ingin berpartisipasi bergabung menggugat PP No 47 Tahun 2017 yang dinilai merugikan bagi negara,” kata Redi.
Baca Juga : Inikah Trik Jennifer Dunn Agar Lolos dari Jeratan Hukum Terkait Kasus Narkoba