Detik.com – Meski lahir dan besar di desa, Mahmudi justru lebih dahulu menjejakkan kakinya di salah satu metropolitan dunia, Tokyo, ketimbang Jakarta. Bukan sebagai pelajar atau mahasiswa cerdas peraih beasiswa dari lembaga donor bergengsi. Sama sekali bukan! Anak bungsu tiga bersaudara dari pasangan Sanirin dan Sutingah itu datang ke Negeri Sakura pada 2001 sekedar menjalani takdir.
“Ibu meninggal ketika saya umur dua tahun, dan bapak cuma buruh tani. Saking miskinnya, kalau ditanya apa cita-cita saya, ya asal bisa makan dan hidup, itu sudah lebih dari cukup,” tutur Mahmudi memulai kisah hidupnya.
detikFinance berjumpa dengannya saat jamuan makan malam Diaspora Indonesia di Sekolah Republik Indonesia Tokyo, 28 November 2017. Agar bisa sekolah di tingkat tsanawiyah (SMP), usai jam sekolah, warga Desa Tanen, Rejotangan, Kabupaten Tulungagung itu menjadi pemetik buah kelapa.
Upahnya per pohon, Rp 100 rupiah. Di tingkat Aliyah (SMA), agar bisa bebas biaya SPP dia menjadi petugas kebersihan sekolah. Tapi Mahmudi mengaku melakoni semua itu dengan happy. Singkat kata, dia sudah teruji soal melakoni hidup prihatin.
Karena itu ketika di Jepang, dia enteng saja ketika harus bekerja serabutan. Selama enam tahun pertama Mahmudi pernah menjadi petugas cleaning service, kuli bangunan, hingga sopir. Padahal mertuanya, Fukumoto, tergolong orang berada. Tapi dia pantang menengadahkan tangan. Begitu pun sang mertua bukan tipe yang mudah trenyuh untuk begitu saja mengulurkan bantuan.
“Saya menjalani semuanya sebagai proses magang untuk memperlancar Bahasa Jepang, mengenal jalanan, hingga teman dan relasi,” kata Mahmudi.
Sementara Noriko, anak perempuan Fukumoto yang dinikahinya pada awal 2001 juga tak tergolong manja. Untuk menopang kehidupan rumah tangga, Noriko bekerja di hotel. “Istri mensupport dan menghormati apapun pekerjaan saya,” imbuhnya.
Kemeja berbalut dasi dan jas necis, serta sepatu kulit mengilat baru melekat di tubuhnya pada pengujung 2007. Kala itu, dia dipercaya untuk berkongsi dengan rekannya orang Jepang sesama pekerja bangunan. Si teman itu rupanya terpuruk menjadi kuli bangunan karena usaha konstruksinya bangkrut.
Melihat cara kerja dan kegigihan Mahmudi, temannya yang orang Jepang itu terpacu untuk kembali mengaktifkan perusahaan konstruksinya. Dengan tabungan yang ada, dibentuklah PT Kehin. Mahmudi berperan ala direktur operasional.
Dua tahun kemudian, Mahmudi mengalihkan bidang usahanya ke semacam event organizer. Dia menangani berbagai kebutuhan operasional para pengusaha, pejabat pemerintah, anggota DPR/D dari Indonesia ke Jepang.
“Bahkan saya juga ikut cawe-cawe ketika RI-2 berkunjung ke sini,” kenang lelaki kelahiran Tulung Agung, 16 Juli 1974 itu bangga.
Pada 2011, ayah dari Fukumoto Notisia M. Cinta dan Fukumoto Rafa M. Ratu itu membentuk unit usaha baru, PT Karya Nusa Solusi (KNS). Hal ini berawal dari keprihatinannya melihat banyak WNI yang magang di Jepang selama 3 tahun, tak dapat memanfaatkan dengan baik tabungannya saat kembali di tanah air. Lewat KNS, dia mengajak mereka yang akan mengakhiri masa magangnya di Jepang bertemu dengan para pengusaha UKM untuk berkongsi.
“Usai magang tiga tahun di Jepang itu setidaknya punya tabungan Rp 300 juta, kalau tidak pandai mengolahnya ya akan habis begitu saja,” ujar Mahmudi.
Atas nasihat kuasa usaha di KBRI, pada 2016 dia mendirikan asosiasi Indonesia–Jepang Solusi (IJS). Asosiasi ini menjadi fasilitator bagi pemda-pemda di Indonesia yang ingin menjalin komunikasi dengan investor di Jepang.
Lalu pada Mei 2017, Mahmudi membentuk Niindo (Nippon Indonesia) untuk memfasilitasi berbagai pelatihan yang diperlukan pihak Indonesia dan Jepang. Dia mencontohkan bila ada Pemda di Indonesia yang perlu melakukan training tentang pajak dan manajemen lalu lintas.
“Itu kami yang handle. Saya yang lobikan untuk ke pihak Jepang siapa yang kompeten,” terang Mahmudi.
Seiring pergaulannya, Mahmudi mengaku olahraga yang ditekuninya sejak 10 tahun terakhir bukan lagi memanjat pohon kelapa atau membersihkan halaman rumah, melainkan golf. Hampir semua pimpinan BUMN di Jepang dan pejabat KBRI menjadi temannya bermain golf.
“Ini sudah kebutuhan, bukan gaya hidup. Mengajak golf mitra bisnis di Jepang itu legal, bagian dari servis,” kata Mahmudi.
Bila dulu, dia lebih dulu mengenal Tokyo ketimbang Jakarta, kini dia biasa mondar-mandir antar dua kota besar itu. Tahun ini dia sudah tujuh kali ke Jakarta untuk urusan bisnis.
Selain itu, dia juga tak juga melupakan kerabat dan teman-teman dekat yang punya ketekunan dan kemampuan untuk bekerja dengannya. Tak diajak langsung ke Jepang, tapi diminta mengurusi sejumlah asetnya yang tersebar di Lampung, Bali, dan Lombok.
“Ada bidang properti dan perkebunan,” ujarnya.