Cnnindonesia.com – Pengacara Otto Hasibuan memutuskan mundur menjadi kuasa hukum Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto. Keputusan mundur diambil Otto lantaran tak mendapat kesepakatan dan kesepahaman dengan Setnov dalam menghadapi proses hukum yang tengah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Setelah saya tangani kasus ini, dalam perjalanannya, di antara kami dengan Setya Novanto, saya melihat belum ada kesepakatan. Tidak ada kesepakatan yang jelas tentang tata cara penanganan satu perkara,” kata Otto di gedung KPK, Jakarta, Jumat (8/12).
Otto menilai kondisi ke depannya bakal merugikan kedua belah pihak jika situasi buntu tanpa kesepakatan di antara pihaknya dengan Setnov dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Otto juga mengaku bakal kesulitan melakukan pembelaan di persidangan, jika dari awal tak ada kesepakatan dengan Setnov mengenai tata cara menghadapi perkara korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp2,3 triliun itu.
“Itu akan menyulitkan saya untuk melakukan suatu pembelaan terhadap klien,” tuturnya.
Otto enggan menjelaskan lebih lanjut mengenai kesepakatan yang dimaksud antara dirinya dengan Setnov. Sebagai seorang pengacara, Otto menyebut punya kode etik untuk menjadga kerahasiaan tentang kliennya.
“Nah (kesepakatan) apa itu? Tentunya banyak hal yang tidak bisa saya sampaikan karena itu menyangkut rahasia klien. Jadi itu harus saya lindungi,” tuturnya.
Otto menepis mundurnya sebagai kuasa hukum Setnov karena ada gesekan dengan Fredrich Yunadi dan Maqdir Ismail. Dia mengaku punya baik dengan Fredrich maupun Maqdir sebagai sesama pengacara. “Saya kira antara pengacara tidak ada problem,” tuturnya.
Otto secara resmi membuat surat pengunduran dirinya dan menyerahkannya surat tersebut kepada Setnov serta penyidik KPK Ambarita Damanik.
Otto menjadi kuasa hukum Setnov sejak 20 November 2017, atau setelah Ketua Umum nonaktif Partai Golkar itu ditahan penyidik KPK.
Belum genap sebulan Otto mendampingi Setnov yang dalam hitungan hari akan menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Rabu 13 Desember 2017.