Revisi PMK Nomor 118/PMK.03/2016 sebatas menegaskan perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak yang secara sukarela mengungkapkan harta yang belum pernah dilaporkan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan tidak ada perpanjangan periode pengampunan pajak “Jilid II”. Pemerintah justru sebatas memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang secara sukarela mengungkapkan harta yang belum pernah dilaporkan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa DJP melalui perubahan Peraturan Menteri Keuangan (PMKP) Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak yang memiliki harta yang belum dilaporkan baik dalam SPT Tahunan 2015 maupun dalam Surat Pernyataan Harta untuk secara sukarela mengungkapkan sendiri hartanya tersebut.
“Wajib Pajak cukup membayar pajak penghasilan final sesuai tarif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017, sepanjang Ditjen Pajak belum menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) Pajak,” kata Yoga.
Dalam hal Wajib Pajak mengungkapkan secara sukarela, kata Yoga, prinsipnya tidak ada pengenaan sanksi sesuai Pasal 18 UU Pengampunan Pajak.
Yoga menegaskan, dengan adanya penegasan perlakuan perpajakan dalam PMK Nomor 118/PMK.03/2016 yang baru ini, pemerintah memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang secara sukarela mengungkapkan harta yang belum pernah dilaporkan.
Namun, pada saat yang bersamaan, DJP tetap konsisten menjalankan penegakan kepatuhan sesuai PP Nomor 36 Tahun 2017 dalam hal telah menemukan data dan informasi harta yang tidak dilaporkan dengan menerbitkan SP2 Pajak tanpa menunggu Wajib Pajak mengungkapkan atau melaporkan harta tersebut.
Dengan demikian, perlakuan tersebut tidak dapat disamakan dengan program Pengampunan Pajak yang berlaku selama periode 1 Juli 2016 – 31 Maret 2017.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menghimbau agar WP segera menyampaikan harta berupa tanah dan/atau bangunan tersebut sehingga tidak termasuk dalam kategori “harta yang ditemukan” oleh pemeriksa pajak.
Ia mendorong WP untuk secara sukarela menyampaikan harta yang belum dibalik nama dan dideklarasikan saat program amnesti pajak sehingga harta tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan dan WP cukup membayar Pajak Penghasilan (PPh) sesuai tarif.
“Banyak WP yang memiliki tanah atau bangunan yang sebelumnya diatasnamakan orang lain. Kemudian mereka didaftarkan atas nama tanah mereka. Maka diperlukan balik nama, mengubah jadi nama WP sebenarnya. Proses tersebut dibebaskan dari PPh, jadi tidak termasuk harta baru yang mereka harus bayar PPh,” kata Sri Mulyani.
Revisi PMK tersebut sebetulnya mempermudah proses balik nama yang disesuaikan dengan ketentuan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah dalam Rangka Pengampunan Pajak.
Sri Mulyani menjelaskan, fasilitas pembebasan PPh hanya cukup menunjukkan fotocopy Surat Keterangan Pengampunan Pajak atau Surat Keterangan Bebas (SKB) sebagai bukti pembebasan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan notaris.
Revisi tersebut juga dilakukan terkait dengan pemberian kesempatan kepada WP baik yang mengikuti tax amnesty ataupun tidak, untuk mengungkapkan sendiri hartanya yang belum dilaporkan dalam Surat Pernyataan maupun dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Pengungkapan yang dilakukan sebelum 31 Desember 2017, maka WP berhak mendapatkan fasilitas berupa tarif PPh sebagaimana PP Nomor 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan.
“Ini merupakan berita positif bagi WP, bagaimana mereka kita dorong untuk mengungkapkan sendiri harta yang belum dilaporkan, yang selama ini belum masuk dalam TA ( tax amnesty ) untuk masuk dalam SPT Tahunan dan Surat Pernyataan,” kata Sri Mulyani.
Sementara itu, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil menjelaskan bahwa Permen ATR/Kepala BPN Nomor 15 Tahun 2015 mensyaratkan ketentuan dan proses balik nama cukup didaftarkan ke kantor pertanahan atau BPN setempat sepanjang aset tersebut tercantum dalam bukti ikut serta dalam amnesti pajak. Sekalipun jangka waktu penyampaian paling lambat Desember 2017, pihak BPN memberikan kelonggaran pemenuhan syarat-syarat yang dimintakan.
“Kita tidak akan mempermasalahkan lagi pajaknya, selama aset tersebut sudah dimasukkan dalam bukti TA. Yang harus dibayar cuma BPHTB, karena dalam TA itu tidak termasuk yang diamnestikan. Begitu secara praktikal, kalau tadi tanah saya balikkan atas nama kawan saya, kemudian saya masukkan dalam TA, bahwa tanah dimilikinya, datang ke BPN dan BPN akan melakukan peralihan. Jadi cuma bayar BPHTB. Jadi straight forward,” kata Sofyan.
Terkait pelonggaran syarat, BPN hanya melonggarkan terkait pemenuhan dokumen sampai pertengahan 2018 dengan syarat WP telah mendaftar terlebih dahulu sebelum 31 Desember 2017. Pelonggaran tersebut diperbolahkan, misalnya tanah yang akan dilakukan balik nama ternyata belum bersertifikat sehingga harus diukur dan diterbitkan sertifikat. BPN juga akan menerbitkan surat edaran dan mensosialisasikan secara lebih detil kepada jajaran pegawai dan pejabat BPN agar pelaksanaannya tidak terkendala.
“Kami juga menyadari karena proses administrasi antara pendaftaran dengan sampai proses dikeluarkan hak itu di BPN perlu waktu, itu kita berikan batas waktu. Yang penting daftarkan dulu. Kemudian kita beri waktu untuk BPN mengurus hingga akhir Maret 2017. Yang penting daftarkan dulu, kalau sudah didaftarkan akhir Desember, kemudian proses BPN bisa proses sampai akhir Maret. Terutama peralihan tanah dan bangunan yang melibatkan badan hukum, kalau pribadi biasanya straight forward,” kata Sofyan.
Merujuk data yang disampaikan Ditjen Pajak, WP yang memiliki harta berupa tanah dan bangunan yang akan dilakukan balik nama ada sekitar 151 ribu. Per tanggal 16 November 2017, baru sekitar 34 ribu WP yang melakukan proses balik nama dari nominee menjadi atas nama WP bersangkutan atau masih ada sekitar 120 ribu WP yang belum melakukan balik nama. Dari 34 ribu WP yang sudah melakukan proses balik nama, ternyata ada yang ditolak proses balik nama sekitar 20 persen.
“Dari 20 persen yang ditolak, alasannya adalah 48% persyaratan formalnya. Yang 28% alasannya adalah perbedaan data, misal beda lokasi dan ukuran. Yang 9% harta itu tidak masuk dalam TA, tiba-tiba sekarang masuk. Yang 9% lainnya itu adalah developer dan 8% adalah alasan lainnya,” kata Sri Mulyani menjelaskan.