Jangan sampai pengaturan tindak pidana menjadi eksesif tidak hanya untuk mengatasi permasalahan kejahatan, namun digunakan sebagai pengontrol masalah moral masyarakat yang tidak relevan untuk dilindungi.
Belum lama ini viral sebuah video yang memperlihatkan aksi persekusi warga Cikupa, Tangerang. Mereka menelanjangi ramai-ramai sepasang muda-mudi yang diduga telah melakukan tindakan mesum.
Tak puas, bahkan warga mengarak pasangan itu dari rumah kediaman mereka sampai ke rumah Ketua RW.
Tindakan warga yang main hakim sendiri itu bukan tanpa ancaman hukum. Aksi menelanjangi dan mengarak pasangan yang telanjang itu dapat dijerat Pasal 282 ayat (1) KUHP tentang tindak pidana kesusilaan di depan umum.
Menurut pasal tersebut, orang yang melakukan tindak pidana menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan.
Tak hanya itu, Pasal 35 UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi juga dapat digunakan untuk menjerat mereka yang menjadikan orang lain objek atau model yang bermuatan pornografi.
Tidak tanggung-tanggung, ancamannya pidana penjara bisa sampai 12 (dua belas) tahun. Belum lagi ancaman pidana denda paling sedikit Rp500 juta dan paling banyak Rp6 miliar.
Sayangnya, menurut Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, ancaman hukum bagi pelaku persekusi belum cukup menimbulkan efek jera. Justru, berpotensi menyerang korban.
Menurut Meidina, hal ini karena hingga saat ini, belum ada ketentuan yang jelas mengenai tindak pidana kesusilaan.
“Peraturan perundang-undangan Indonesia sama sekali tidak mengatur adanya tindak pidana kesusilaan pada ranah privat dalam ruang tertutup, dan dilakukan dengan konsen atau persetujuan antar para pihak yang terlibat, sehingga apa yang dilakukan oleh warga Cikupa tersebut telah melanggar hak atas privasi pasangan yang bersangkutan, dan dilakukan tanpa hak dan wewenang apapun,” ujar Meidina
Maidina pun menegaskan, fakta persekusi tersebut kembali mengingatkan kita pentingnya mengatur norma kesusilaan secara hati-hati.
Ia menggaris bawahi, jangan sampai pengaturan tindak pidana menjadi eksesif tidak hanya untuk mengatasi permasalahan kejahatan, namun digunakan sebagai pengontrol masalah moral masyarakat yang tidak relevan untuk dilindungi.
“Hukum pidana kan seharusnya bersifat ultimum remedium . Jadi jangan malah menimbulkan masalah baru,” tuturnya.
Ia pun mengkritisi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKHUP) yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah dan DPR di Parlemen juga berpotensi menghadirkan persekusi.
Dirinya menyebut beberapa pasal dalam RKUHP, khususunya mengenai tindak pidana kesusilaan bisa memunculkan tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat.
Misalnya, menurut Maidina, ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP yang mengatur perluasan asas legalitas hukum pidana Indonesia.
Pasal ini mengatur bahwa hukum yang hidup di masyarakat menetukan dapat atau tidaknya seseorang dipidana. Ia khawatir hal ini menimbulkan celah hukum yang sangat multi tafsir dan melahirkan potensi terjadinya tindak pidana main hakim sendiri.
Kemudian, ketentuan Pasal 484 ayat (2) RKUHP yang mengatur bahwa tindak pidana zina dapat dituntut jika adanya pengaduan dari suami, istri atau pihak ketiga yang tercemar.
Maidina melihat, “pihak ketiga yang tercemar” diperbolehkan untuk melakukan penuntutan membuka peluang main hakim sendiri. Terlebih, tidak ada penjelasan spesifik mengenai “pihak ketiga yang tercemar”.
Selain itu, unsur “persetubuhan antara laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah” rentan disalahgunakan.
“Ketentuan Pasal 484 ayat (1) huruf e yang hanya memberi batas terjadinya persetubuhan secara potensial justru dapat menyasar korban-korban perkosaan dengan pembuktian yang cukup sulit. Aparat penegak hukum lantas menggunakan ketentuan pasal ini yang mana mereka tidak perlu membuktikan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga relatif lebih mudah pembuktiannya dan lantas berpotensi mengkriminalisasi korban,” jelasnya.
Pada intinya, Maidina mengingatkan bahwa permasalahan kesusilaan sangat erat kaitannya dengan moral di masyarakat. Hal ini juga dipengaruhi tendensi dan subjektivitas masyarakat mayoritas sekitarnya.
Ia menegaskan, bagaimana pun juga hukum pidana harus dibuat berdasarkan asas legalitas yang tidak boleh dilanggar.
“Segala jenis aturan terlebih lagi yang menyertakan hukum pidana dengan konsekuensi terlanggarnya hak atas kemerdekaan seseorang harus dirumuskan secara hati-hati dan tidak boleh menimbulkan potensi terjadinya kesewenang-wenangan,” katanya.
Senada dengan Maidina, Komisioner Komnas Perempuan, Adriana Venny mengungkapkan bahwa persekusi yang “bernuansa seksual” merupakan bentuk penyiksaan seksual.
Ia menyebut persekusi macam itu merupakan penghukuman tidak manusiawi yang merendahkan martabat kemanusiaan.
“Masyarakat sama sekali tidak punya hak untukmelakukan penghukuman, penganiayaan, dan melanggar hak kebebasan orang lain yang dijamin dalam konstitusi,” tandasnya.
Selain itu, Adriana menilai, tindakan main hakim sendiri atas nama moralitas kerap kali dijadikan alasan untuk melakukan tindakan kekerasan seksual kepada perempuan. Termasuk, dengan cara-cara menebar ketakutan yang menyasar pada tubuh perempuan. Ia pun prihatin dengan kenyataan bahwa kejadian serupa pernah terjadi di beberapa wilayah Indonesia seperti Aceh, Sragen, dan Riau.
“Tindakan main hakim sendiri telah meruntuhkan martabat korban secara personal, termasuk juga keluarganya, dan akan berdampak panjang pada masa depan korban. Oleh karenanya Negara perlu segera mengesahkan RUU Penghapusan Tindak Kekerasan Seksual,” pungkasnya.