Menjaga Mutu dan Integritas Menjadi Kiat Sukses Firma Hukum Dapat 'hidup' Ratusan Tahun

Menjaga Mutu dan Integritas Menjadi Kiat Sukses Firma Hukum Dapat ‘hidup’ Ratusan Tahun

Dahulu, banyak firma hukum Indonesia berjenis sole proprietor (praktisi tunggal) dan fokus pada bidang litigasi. Hanya segelintir dari mereka yang menerapkan sistem kemitraan (partnership) dan merambah bidang nonlitigasi.

Apabila di Inggris, tipe advokat-advokat nonlitigasi seperti ini biasa disebut sebagai solicitor.

Memasuki era 1960 hingga 1970-an, mulai bermunculan beberapa firma hukum model
partnership yang tidak hanya menguasai litigasi, melainkan juga nonlitigasi. Sebut saja, firma hukum Ali Budiarjo, Nugroho, Reskodiputro (ABNR) dan Mochtar, Karuwin, Komar (MKK) yang masing-masing berdiri pada 1967 dan 1971.

Selain dua firma hukum tersebut, ada pula Adnan Buyung Nasution & Associates (ABNA) yang berdiri pada 1969. Meski awalnya berdiri dengan partner tunggal, ABNA akhirnya mendirikan divisi korporasi bersama Timbul Thomas Lubis dan Sri Indrastuti Hadiputranto yang diberi nama Nasution, Lubis, Hadiputranto (NLH).

Sayang, NLH tak berumur panjang. Satu per satu associate NLH ke luar dan mendirikan kantor hukum sendiri. Dua partner NLH, Timbul dan Sri Indrastuti atau akrab disapa Tuti juga ke luar, kemudian bergabung dengan Mohamed Idwan Ganie dan Arief Tarunakarya Surowidjojo mendirikan Lubis, Hadiputranto, Ganie, Surowidjojo (LHGS).
NLH pun tak lagi eksis.

Bukan hanya karena kepergian para partner dan associate-nya, tetapi juga karena kepergian sebagian besar staf NLH yang ikut “hijrah” ke LHGS.

Sejak awal, para pendiri LHGS ingin membuat firma hukum besar. Namun, fakta berkata lain. LHGS juga mengalami perpecahan pada akhir 1980-an.

Tuti Hadiputranto bersama Tuti Dewi Hadinoto mendirikan Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP) dengan menggandeng firma hukum asing, Baker & McKenzie.

LHGS pun berubah menjadi Lubis, Ganie, Surowidjojo (LGS). Namun, di balik kegagalan, selalu ada hikmah yang dapat dipetik. Para pendiri firma hukum itu mulai belajar.

Mereka belajar bagaimana firma-firma hukum di luar negeri memiliki umur yang relatif panjang. Bukan hanya sampai puluhan tahun, melainkan sampai ratusan tahun umurnya.

Rupanya, salah satu “kunci” adalah dengan menjadikan firma hukum sebagai sebuah institusi. Cita-cita ini pun “bergema” di benak para pendiri firma hukum Indonesia era 1980-an.

Tuti Hadiputranto salah satunya. Pendiri HHP ini mengatakan, cita-citanya ketika mendirikan HHP adalah membuat sebuah institusi firma hukum di Indonesia.

Ia menginginkan agar firma hukum di Indonesia bisa tetap hidup beratus-ratus tahun seperti di Amerika dan Eropa, meski pendirinya sudah meninggal atau pensiun.

“(Misal) Sole proprietor dengan 10 assosiates, 10-nya semua keluar, terus si sole proprietor- nya tidak bisa apa-apa lagi, mati, bagaimana? Kapan mau menjadi satu law firm besar? Di Amerika, Inggris, di Eropa itu law firm umurnya sudah ratusan tahun, sudah menjadi kuat, menjadi besar. Masa di tempat kita kok tidak bisa,” katanya dilansir dari hukumonline.

HHP sendiri, pertama kali berdiri hanya memiliki 15 orang pegawai yang terdiri dari enam lawyer (advokat) dan sisanya staf.

Semakin hari, HHP semakin tumbuh menjadi institusi firma hukum besar. Bahkan, ketika Tuti memasuki pensiun pada 2016 lalu, jumlah lawyer dan staf di HHP sudah melebihi 300 orang.

Sesuai karakteristiknya, firma hukum yang berbentuk institusi tidak akan “mati” kendati “ditinggalkan” para pendirinya. Demi kelangsungan hidup institusi tersebut, tentu harus ada regenerasi. Menurut Tuti, firma hukum berbentuk institusi pasti akan membuka peluang kepada semua lawyer untuk menjadi partner.

“Memberikan opportunity kepada semua lawyer yang bekerja di situ untuk one day (suatu hari) mereka bisa mencapai menjadi partners on the top. Kalau partner itu kan ada, tergantung dari masing-masing law firm ya, kadang-kadang ada tingkatan-tingkatannya. Tapi, kesempatan untuk menjadi partners yang equal on the top itu ada,” ujarnya.

Jadi, sambung Tuti, tidak ada perbedaan perlakuan antara founding partner dengan partner yang merintis dari bawah. Konsep inilah yang diterapkan Tuti saat masih berada di HHP. Konsep lain yang pernah diterapkan Tuti adalah bahwa pendiri sama sekali tidak boleh mempunyai economic interest berupa apapun saat sudah tidak lagi bekerja di HHP.

“Tidak fair (adil) kalau saya (misalnya sebagai pendiri) masih meminta sesuatu dari kantor tersebut (walau sudah pensiun di HHP). Karena artinya apa? Orang-orang yang bekerja di sana, baik lawyer maupun partner pasti memberikan subsidi atau kontribusi pada saya, sedangkan saya sudah tidak berkontribusi apapun lagi,” imbuhnya.

Tuti mengungkapkan, ketika masih di HHP, ia menerapkan konsep conflict of interest check yang sangat ketat bagi para lawyer.

Aturan yang digunakan pun mengikuti aturan di Amerika Serikat. Dengan konsep ini, ia meyakini tidak mungkin lawyer HHP melakukan sesuatu yang bertentangan.

Kemudian, saat Tuti masih di HHP, ada yang disebut “professional development”. Dengan “professional development”, kantor dapat membuat suatu ukuran untuk menilai peningkatan kemampuan lawyer-nya.

Misalnya, jika seorang lawyer sudah bekerja selama tiga tahun, seberapa jauh seharusnya kemampuan lawyer tersebut meningkat. Lalu, kalau dalam suatu meeting, apakah lawyer itu aktif atau tidak? Atau cuma diam saja?

“Jadi, apakah dia di kantor tidak ada (melakukan) professional development, berarti si lawyer itu tidak men- develop (mengembangkan) dirinya. Kewajiban dari seorang profesi apa? Untuk maju terus, untuk ilmunya tidak boleh berkurang, ilmunya harus berjalan terus, harus terus-menerus mengerti, menganalisa,” tuturnya.

Cita-cita serupa juga dicetuskan oleh pendiri LGS, Mohamed Idwan Ganie. Ia mengatakan, tujuan awal pendirian LGS adalah ingin menjadikannya sebagai institusi.

“Institution building itu yang kita mau bikin. Sesuatu yang bisa jadi tempat bagi
lawyer terbaik di Indonesia, semacam itulah cita-citanya,” kata pria yang akrab disapa Kiki Ganie ini.

Ketika awal berdiri, LGS memiliki tiga orang
partner sekaligus pendiri, serta beberapa
associates. Kini, LGS memiliki sembilan orang partners dan 110 associates. LGS memprediksi jumlah associates akan bertambah menjadi 150 pada 2018. Bila diakumulasikan dengan “alumni” LGS (lawyer dan staf), boleh jadi totalnya sudah mencapai ribuan. Tak heran, jika LGS menjadi salah satu firma hukum Indonesia dengan jumlah lawyer terbanyak.

Gagasan institusi firma hukum ini juga menjadi tujuan awal Todung Mulya Lubis ketika mendirikan Lubis, Santosa, Maulana (LSM). Todung, meski bukan “lahir” dari ABNA seperti para pendiri LGS dan HHP, tetapi lahir dari lembaga besutan Adnan Buyung Nasution yang lain yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

“Ketika kita bikin kantor, kita sudah punya niat yang kita bangun itu adalah institusi law firm. Sambil jalan, kita perbaiki. Nah, karena itulah kita mengubah nama (semula Mulya Lubis & Associates) menjadi LSM. Saya bisa saja bertahan jadi Mulya Lubis & Associates, tapi saya tidak mau. Karena buat saya, dalam law firm itu yang jadi aset adalah manusia. Manusia yang bekerja di sana dan kalau dia pindah, asetnya juga hilang. Jadi, kita mau ada kebanggaan. Setiap kita punya
partnership, kita mau tiga-tiganya punya kebanggaan sebagai pendiri law firm ini,” terangnya.

Meski begitu, Todung lebih memilih semacam butik law firm . Berbeda dengan HHP dan LGS yang memiliki ratusan lawyer. Todung tidak tertarik mendirikan institusi firma hukum berukuran besar dengan ratusan lawyer. Menurutnya, kantor hukum yang sekarang bernama Lubis, Santosa, Maramis ini hanya memiliki 40 lawyer.

Sebagaimana diketahui, ada berbagai macam tipe kantor hukum. Wahyuni Bahar, dalam buku berjudul Manajemen Kantor Advokat di Indonesia (Center for Finance, Investment and Securities Law, 2007) mengutip tipologi kantor hukum yang dimuat dalam “Jonathan S Lynthon, Law Office Management” (United States : West Publishing, 1992).

Ada lima jenis tipologi kantor hukum. Pertama, praktisi tunggal (sole practitioner). Advokat dalam kantor hukum semacam ini biasanya bekerja sendiri dan menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri.

Kedua, kantor butik (boutique firm). Kantor hukum butik pada dasarnya adalah kantor dengan ukuran kecil dari segi jumlah advokat dan memfokuskan diri pada bidang praktik atau spesialisasi tertentu.

Ketiga, kantor kecil (small firm). Kantor hukum model ini hanya memiliki 15 advokat atau bahkan kurang. Keempat, kantor menengah (medium-size firm). Kantor hukum menengah biasanya terdiri dari 15 hingga 75 advokat. Sementara, kelima, kantor besar (large firm) biasanya memiliki lebih dari 75 advokat, serta memiiki berbagai bidang jasa, baik mencakup litigasi maupun nonlitigasi.

Menjaga Mutu dan Integritas

Setiap firma hukum memiliki cara sendiri untuk menjaga mutu dan sumber daya manusianya. Seperti dikatakan Todung, manusia adalah salah satu aset bagi sebuah firma hukum. Oleh karena itu, ia menganggap semua “awak” yang bekerja di LSM, baik partners, associates , paralegal, dan staf sebagai satu keluarga besar.

“Jadi, kita sedapat mungkin memang tetap melanjutkan silaturahmi. Kemudian, kita lebih manusiawi. Kita juga tidak terlalu ngoyo dalam bekerja. Kerja keras harus, tapi jangan ngoyo sampai sakit-sakitan. Kita juga jaga itu, karena lawyer itu mesti sehat, staf juga mesti sehat. Jangan ngoyo memaksakan pekerjaan sampai fisiknya tidak mendukung,” katanya.

Todung mengaku LSM termasuk salah satu kantor hukum yang paling sering menyelenggarakan kegiatan outing. Sekali dalam dua tahun, LSM melakukan outing bersama semua lawyer dan staf. Bahkan, dengan para lawyer, outing bisa sampai ke luar negeri, seperti Thailand, Jepang, Hongkong, dan Korea.

“Jadi, ada semacam perasaan kebersamaan,” imbuhnya.

Selain menjaga kualitas sumber daya manusianya, LSM juga terus berupaya mempertahankan reputasi dan intergritasnya.

Todung melanjutkan, LSM adalah firma hukum bersih. LSM selalu mengikuti aturan, anti hanky panky dan tidak mau terjebak dengan permainan “kotor”, baik itu di lembaga penegak hukum, seperti pengadilan dan kepolisian ataupun lembaga-lembaga pemerintah.

Nah, sambung Todung, integritas LSM inilah yang ‘dibeli’ oleh klien-kliennya yang sebagian besar perusahaan-perusahaan asing. Sebab, ada saja lawyer yang menawarkan jasanya, “Ok, you bayar sekian, pokoknya menang”.

Sementara, LSM bukan firma hukum semacam itu. Ia menegaskan, LSM tidak pernah menjanjikan hal demikian kepada klien.

“Kita mau menerima bayaran yang wajar sesuai dengan pekerjaan yang kita berikan, tapi kita juga harus mengatakan pada klien bahwa kita ini hanya bisa kerja sesuai dengan aturan yang berlaku. Kita tidak mau ya terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan ‘kotor’. Itu yang membuat klien itu tetap datang, tetap merasa comfortable (nyaman) dilayani oleh kita,” ujarnya.

Senada, LGS juga sangat menjaga integritas firma hukumnya. Selain sudah menjadi komitmen LGS, Kiki Ganie menerangkan integritas juga menjadi “daya tarik”, terutama bagi klien asing dengan tingkat kepatuhan atau level compliance yang tinggi. Dan, memang, sejak dulu pangsa pasar LGS adalah klien asing dengan level compliance yang tinggi.

Selanjutnya, untuk sistem manajemen mutu, LGS memilih mengikuti standar yang berlaku universal, seperti ISO 9001:2008 (kemudian direvisi menjadi ISO 9001:2015). Sudah hampir 15 tahun, LGS sudah mengantongi ISO tersebut. Sementara, secara struktural, LGS menerapkan manajemen mutu dengan model straight line of command dan bukan top down.

Dengan model manajemen mutu seperti itu, pemilik tugas di setiap level atau strata dapat menentukan sendiri ruang lingkup tugasnya sendiri. Sebut saja, seorang office boy (OB) yang bertugas membersihkan sebuah kamar. OB itu boleh menentukan sendiri standarnya. Misalnya, setiap pagi hari dalam waktu 20 menit, kamar harus bersih.

“Dia boleh nentuin, tapi dia juga yang mesti memenuhi standar dia sendiri. Lalu, kalau (memenuhi) ISO, berarti mula-mula kita punya standar (yang) dibikin sendiri. Nah, standar itu harus di- improve (diperbaiki) lama-lama. Misal, bisa nggak dalam 15 menit, tapi sama bersihnya. Kalau diambil (contoh) kecilnya seperti itu,” tutur Kiki Ganie.

Di lain pihak, HHP juga memiliki cara manajemen sendiri. Managing Partner HHP Timur Sukirno menjelaskan, HHP memiliki managing partner yang tugasnya melihat atau mengelola firma hukum dari hari ke hari. Selain melakukan tugas manajemen, si managing partner harus melihat peluang-peluang bisnis yang ada di luar dan memformulasikan dalam bentuk strategi.

Tentu, kata Timur, semua akan dibicarakan kepada partner-partner lain. Seperti, apa yang sedang menjadi tren atau mega tren di luar. Tak hanya itu, managing partner juga akan membicarakan tentang bagaimana cara untuk meningkatkan produktivitas atau cara untuk melakukan business development yang efektif.

“Itu kita coba bersama dengan partners yang lain. Kita lihat, ‘oh ini bagaimana kita mengimplementasikannya’. Manajemen adalah kerjaan yang mengimplementasikan ke hal-hal tersebut,” ucapnya.

Lantas, bagaimana cara HHP untuk menjaga mutu dan sumber daya manusianya? Timur mengungkapkan, HHP terkenal dengan konsep professional development.

Menurutnya, sudah banyak orang datang ke HHP dan merasakan sendiri bagaimana konsep professional development yang diterapkan HPP.

Timur melanjutkan, HHP juga memiliki ” on the job training”. Konsep ini tidak kalah penting karena para lawyer HHP harus mengetahui secara utuh masing-masing bidang yang mereka geluti.

Misalnya, bagaimana cara membentuk perusahaan, berkontrak, bagaimana kalau nanti ada perselisihan, dan bagaimana kontrak diaplikasikan ke peraturan-peraturan. Dengan melakukan “latihan” praktik berkali-kali, lama-kelamaan mereka menjadi expert (ahli).

“Mungkin yang lain akan mengakui atau tidak, tapi kita lebih terkenal dengan spesialisasi. Klien-klien kita juga demikian. Karena our quality of lawyer, mau dia (baru) empat tahun, bisa kita sandingkan dengan partner, junior partner atau apa di law firm lain. Lawyer-lawyer kita itu sudah tahu. Selama empat tahun dia mengerjakan itu dan dia spesifik terhadap itu,” terangnya.

Di samping itu, Timur menyatakan, HHP cukup ketat dengan ” review “-nya. Partners HHP akan me- review semua pekerjaan-pekerjaan, termasuk pekerjaan lawyer asing. Sebab, para partners-lah yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan tersebut. “Itu yang kita lakukan untuk menjaga mutu atau quality . Dan, semua advice dari kita tuh selalu ada Indonesian lawyer-nya, bukan asing saja,” imbuhnya.

Kiat Sukses

Dengan sistem manajemen dan kualitas sumber daya manusianya, tak heran jika HHP menjadi salah satu firma hukum yang kerap mendapat penghargaan.

Pada 2017, HHP baru saja menerima penghargaan “Indonesia Domestic Law Firm of the Year 2017” dari Chambers Asia Pacific Awards. Pada 2016, HHP menerima penghargaan “Firm of the Year, Indonesia 2016” dari The Asian Lawyer Emerging Market Awards.

Kemudian, pada 2014 sampai dengan 2016, HHP menerima penghargaan “Best Firm in Indonesia” dari Euromoney Women Law Awards. Dalam rentang tahun yang sama, HHP menerima penghargaan “Indonesia Law Firm of the Year” dari Asian Legal Business (ALB) Indonesia Law Awards dan “Indonesia Deal Firm of the Year 2016” dari ALB Indonesia Law Awards.

Selain raihan prestasi, HHP sebagai institusi juga sudah banyak “menelurkan” lawyer-lawyer sukses.

Timur menyebutkan, banyak sekali lawyer “lulusan” HHP yang juga sukses mendirikan kantor hukum sendiri atau menjadi in-house counsel di perusahaan-perusahaan besar.

Sebut saja, Melli Darsa, Ignatius Andy, Tony Budidjaja, dan Nadia Nasoetion.

Timur membagikan kiat sukses HHP. Ia mengungkapkan, sukses HHP adalah “fokus”. “Fokus terhadap tujuan, fokus terhadap visi dan misi, fokus terhadap klien, fokus terhadap area dimana mau bergerak, dan harus komitmen terhadap itu semuanya,” katanya.

Kiki Ganie juga membagikan kiat sukses agar sebuah kantor hukum tetap eksis seperti LGS yang kini sudah berumur 30 tahun. Menurutnya, LGS dapat bertahan lama karena “keakuran” para pendirinya.

Sebab, banyak kantor hukum “runtuh” bukan karena mismanajemen atau tidak laku sebagai lawyer, tetapi karena para partner-nya bertengkar. Kiat sukses LGS lain adalah harus beradaptasi dengan perkembangan yang ada.

“(LGS bisa tetap eksis) juga bisa karena core competent (kompeten di bidangnya) kita. Kalau dibilang Bakmi Gajah Mada terkenal karena mie-nya, kalau kita (karena) core competent . Bagi kita yang ada di pusat, fokus kita bukan kita. Nomor satu, klien, dan core competent kita adalah melayani klien, baik untuk kebutuhan hukum yang ada sekarang maupun yang akan ada. Pada saat dia perlu, kita sudah harus siap,” ujarnya.

Adapun “lulusan-lulusan” LGS yang sukses mendirikan kantor hukum sendiri terbilang cukup banyak, bahkan mungkin paling banyak diantara kantor hukum era 1980-an lain. Kiki Ganie menyebutkan beberapa diantaranya, seperti Ahmad Fikri Assegaf, Chandra M Hamzah, Boy Rahmat, para pendiri Hanafiah, Ponggawa & Partners, Yozua Makes, dan Didi Dermawan.

Todung pun memiliki kiat sukses yang membuat LSM bisa tetap eksis sampai saat ini. Pertama, LSM selalu memberikan yang terbaik atau the best services kepada klien-kliennya. Kedua, LSM selalu bekerja keras untuk klien-kliennya, tetapi dengan tetap menjaga integritas.

“Jadi, kita work hard, professional , tapi juga memelihara integritas, karena profesi ini kan profesi yang mulia (officium nobile) kata orang. Ya kita harus menjaga wibawa, harkat kita sebagai profesional,” katanya.

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024