Asmaroemarsaleh.com – Momen 100 tahun kebangkitan nasional adalah perubahan dan titik balik. Segenap advokat Indonesia akan mencatatkan diri dalam sejarah melalui Kongres Advokat Indonesia yang dilaksanakan pada 30-31 Mei di Jakarta.
Di saat penegakan hukum di negeri ini berjalan limbung dan tidak visioner, akankah advokat Indonesia memberi cahaya perubahan? Pertanyaan tersebut penting kita kemukakan terkait dengan peran dan fungsi organisasi advokat yang kian melempem sebagai pengawal kelangsungan negara hukum yang menjadi cita-cita bersama masyarakat Indonesia.
Dalam tataran kenegaraan, misalnya, advokat dan organisasinya absen dari perdebatan suatu rancangan undang-undang (RUU) yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam lingkup politik, tak terdengar gaung advokat dan organisasinya ketika terjadi penyelewengan hukum oleh penguasa dan dalam konteks sosial-kebangsaan, advokat, dan organisasinya nyaris nihil dari pembelaan terhadap ketidakadilan hukum yang dialami masyarakat.
Ironisnya, justru profesionalisme advokat diruntuhkan sendiri dengan menjadi salah satu mata rantai mafia peradilan yang telah menggerogoti sendi-sendi negara-bangsa ini. Pendeknya, dunia advokat kita sesungguhnya berhadapan dengan persoalan yang krusial dan mencemaskan: tiadanya visi ideologis yang berbasis pada keadilan dan ketidakmampuan untuk terlibat dalam perlindungan hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Masyarakat kini melihat bahwa profesi advokat hanya bermakna instrumental, mengejar tujuan materi semata yang kecenderungannya menghalalkan segala cara. Termasuk melibatkan diri dengan mafia peradilan. Sementara, organisasi advokat jadi tak ubahnya asosiasi profesi yang berkumpul sekadar melempangkan jalan mengejar kepentingan materi dan ketenaran. Tak ada kontribusi yang bisa diberikan organisasi advokat bagi perubahan sosial politik di Tanah Air.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyatukan para advokat dalam satu organisasi tunggal. Sayangnya, wakil-wakil dari delapan organisasi advokat (IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI) yang diberi wewenang oleh Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang (UU) Advokat Nomor 18/2003 untuk menjalankan organisasi advokat sembari mempersiapkan pembentukan wadah tunggal organisasi advokat, gagal melaksanakan tugasnya.
Justru para ketua umum dan sekretaris jenderal delapan organisasi advokat tersebut mendeklarasikan Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) dan mengklaimnya sebagai wadah advokat Indonesia sebagaimana dimaksud UU Advokat. Padahal, Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU Advokat Nomor 18/2003 telah menegaskan bahwa organisasi advokat harus terdiri dari kepengurusan yang dibentuk dan ditetapkan oleh para advokat Indonesia secara demokratis, transparan, dan akuntabel melalui kongres atau musyawarah nasional advokat Indonesia, bukan dibentuk secara pribadi oleh para ketua umum dan sekretaris jenderal delapan organisasi advokat sebagaimana Peradi yang ada sekarang ini.
Artinya, keberadaan kepengurusan Peradi yang mengatasnamakan advokat Indonesia dan mengklaim sebagai satu-satunya wadah organisasi advokat tidaklah sah. Gugatan para advokat terhadap eksistensi Peradi dapat dibenarkan.
Maka, berdasarkan amanat UU Advokat Nomor 18/2003, kongres pun akan segera digelar. Tujuannya jelas, membentuk wadah profesi advokat yang bebas mandiri dengan kepengurusan yang dipilih secara benar dan terlegitimasi untuk meningkatkan kualitas advokat serta mendorong terwujudnya negara hukum yang berkesejahteraan. Tentunya, kongres tersebut mesti berjalan secara demokratis, transparan, partisipatif, dan akuntabel sehingga tidak saja diterima seluruh advokat di Indonesia, tetapi juga memberikan harapan cerah bagi masyarakat yang merindukan tegaknya keadilan di negeri ini.
Berharap pada kongres
Sejalan dengan harapan pada hadirnya organisasi advokat yang mampu menjadi lokomotif dari gerbong penegakan supremasi hukum dan HAM, tiga hal berikut patut diusulkan kongres dalam pembentukan visi dan misi organisasi advokat Indonesia yang akan dihasilkannya. Pertama, keberjarakan dengan negara. Ini unsur dasar bagi tegaknya advokat sebagai pembela hukum yang independen, bebas, dan mandiri.
Keberjarakan dengan negara membuat advokat dan organisasinya mampu menegakkan supremasi hukum dan membela masyarakat sepenuhnya untuk keadilan.
Kedua, menegaskan ideologi keberpihakannya. Keberpihakan ini harus dilakukan karena masih begitu banyak aniaya yang bermartabat, ketidakadilan yang sunyi dan kekalahan-kekalahan yang agung yang dialami oleh rakyat kebanyakan. Dalam hal ini keberpihakan itu harus tampak dari kesediaan para advokat dan organisasinya untuk membela hak-hak hukum rakyat kecil, yang kemampuannya dari segi intelektual dan ekonomi lemah dan terbatas berhadapan dengan pemilik modal dan kekuasaan.
Ketiga, terlibat aktif dalam perlindungan dan penegakan hukum dan HAM. Salah satunya melalui keterlibatan dalam pembuatan RUU yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat banyak. Tentunya, agar undang-undang yang kemudian disahkan itu benar-benar diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat secara umum dan tidak dimanipulasi oleh kepentingan segelintir elite, seperti kaum pengusaha atau pejabat negara.
Oleh karena itu, Kongres Advokat Indonesia akan bermakna banyak bagi masyarakat dan bagi penegakan hukum dan HAM di negeri ini ketika advokat mampu menghadirkan diri dan organisasinya dalam penegakan keadilan di Indonesia yang kian menjauh dari harapan. Itu hanya mungkin terjadi ketika para advokat bersedia bergabung dalam satu wadah tunggal yang bebas dari konflik dan persaingan antarorganisasi bahkan antaradvokat.
Keberadaan wadah tunggal tersebut akan bisa mengawasi etika profesi para anggotanya serta menindak tegas para advokat yang berperilaku menyimpang dari kode etik. Organisasi advokat yang akan dibentuk pun harus mampu menghapus stereotip negatif yang kerap melekat di tubuh advokat dan organisasinya.
Yang paling mendesak adalah upaya pembersihan ke dalam tubuh profesi advokat, ikhtiar keluar dari lingkaran setan mafia peradilan. Ke luar, organisasi advokat harus benar-benar mampu menjadi salah satu pilar penopang negara hukum dengan pelayanan dan pengabdian yang penuh kepada keadilan (bukan berkhidmat pada uang dan ketenaran).
Semboyan fiat justitia ruat coellum, keadilan harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh, adalah api semangat yang tak boleh padam. Kongres Advokat Indonesia masih berdiri di antara dua arah pendulum, memberi harapan atau menerbitkan kemasygulan. Kita tunggu saja. sumber