Pengaturan Obstruction Of Justice
Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, setiap orang yang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150 juta dan paling banyak Rp. 600 juta.
Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji dalam Peradilan Bebas Negara Hukum dan Contempt Of Court (2017:285) menjelaskan, obstruction of justice (OoJ) merupakan tindakan yang ditujukan maupun mempunyai efek memutarbalikkan proses hukum, sekaligus mengacaukan fungsi yang seharusnya dalam suatu proses peradilan.
Menariknya, penulis temukan salah satu pengertian OoJ dari laman Cornell Law Education yang dekat dengan tafsiran dari penegak hukum kita bahwa, “penghalang keadilan secara luas mengacu pada tindakan oleh individu yang secara tidak sah mencegah atau mempengaruhi hasil dari suatu proses pemerintahan, dan menargetkan berbagai jenis penghalang.”
Definisi dan pengertian tersebut ternyata erat berkaitan dengan politik hukum pemerintah (eksekutif), ini menakutkan sekali, juristokrasi totalitarian – tapi penulis tidak mau terjebak dalam konteks politik meskipun berkaitan dengan hukum terapan untuk fokus pada tujuan pembentukan hukum yang berdampingan dengan tujuan negara hukum dan fungsi Yudikatif.
Objektivitas Peradilan
Mengingat bahwa proses persidangan menganut prinsip non-self incrimination dan pressumption of innocence maka itu berarti tindakan yang dilakukan oleh Advokat terkait teknisnya tidak boleh diintervensi, jangan pula pihak lain menganggap bahwa pembuktian atau teknis beracaranya sudah benar.
Seringkali kita mendengar alasan bahwa setiap proses sudah sesuai dengan SOP (standard operational procedure) atau semacamnya yang menyatakan tidak keluar dari aturan, pertanyaannya, bukankah kita sepakat (terutama dalam pidana) yang harus kita temukan adalah kebenaran materiil? Kenapa alasan seringkali kembali pada formalitas aturan dan surat-surat? Apakah benar patuh? Apakah diperiksa terbuka? Ini merupakan kontradiksi sekaligus kontra-produktif.
Penghalang utama dalam legal reasoning yang bersifat sosial etik terletak pada beberapa faktor penting menyangkut sistem hukum, birokratisasi pemerintah, sistem politik, dan struktur sosial, karena seringkali argumentasi yang ada dianggap tidak lebih dari sekedar permainan kata belaka.
Pledooi adalah tuntutan terhadap pemerintah yang mempermasalahkan perbuatan hukum orang juga tidak boleh dihalang-halangi sebab merupakan bagian proses peradilan yang sah, sama dengan requisitoir.
Litigasi pidana pun setara dengan penyelidikan dan penyidikan namun dengan istilah yang berbeda, yaitu penelusuran dan pengolahan data. Artinya, dalam sistem peradilan pidana para penegak hukum dengan Advokat mempunyai kewenangan yang sama terhadap objek, subjek dan perkara namun dengan sudut pandang yang berbeda.
Misal ketika kepolisian berwenang untuk menahan maka Advokat berwenang untuk membebaskan klien dari upaya paksa penahanan tersebut melalui prosedur yang dibenarkan oleh hukum acara tentang hak-hak tersangka. Masalah kewenangan menjadi sesuatu yang inheren sebagai dua sisi dari sekeping mata uang
Kedudukan Yudikasi Advokat
UURI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat pada konsiderans menimbang huruf b, yang berbunyi,” bahwa kekuasaan kehakiman …, memerlukan profesi Advokat …, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan …” Artinya, Advokat merupakan suatu kelengkapan dari terselenggaranya peradilan yang merupakan proses utuh sejak pemeriksaan hingga putusan.
Terangnya kedudukan Advokat terdapat dalamPasal 38 ayat (1) UURI No. 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan “…badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasan kehakiman.”
Yang mana dalam penjelasannya diterangkan, “Yang dimaksud dengan “badan-badan lain” antara lain kepolisian, kejaksaan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan.” Sayangnya, ini seringkali diabaikan sebagai argumen Advokasi.
Salah satu peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit menyebutkan kedudukan Advokat adalah UU No. 21/2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) menyebutkan, ”Yang dimaksud dengan petugas di persidangan adalah hakim, penuntut umum, panitera, pendamping korban, Advokat, polisi, yang sedang bertugas dalam persidangan tindak pidana perdagangan orang.” Inipun lepas dari perhatian dan pemamaham kebanyakan Advokat.
Lebih jauh penulis mengutip pendapat Sudikno Mertokusumo tentang petugas hukum yaitu, “Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit.” [Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, 1993, hlm. 4]
Profesi Advokat Bukan Persoon
Ebah Suhaebah melalui Penerapan Kaidah Bahasa Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan mengatakan, “Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang” – terhadap natuurlijk persoon. Idiom yang harus digunakan adalah “barang siapa” – terhadap recht persoon. Beginsel-nya adalah pribadi.
Bagir Manan mengatakan, “Advokat merupakan pekerjaan yang disebut beroep, yakni pekerjaan profesional yang berdasarkan keahlian di bidang hukum yang diikat oleh aturan tingkah laku dan kode etik profesi”. [Bagir Manan, 2009, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian, Jakarta, hlm. 282]
Pada konteks profesi diperlukan proses naturalisasi melalui sidang etik untuk dilepas sebagai natuurlijk persoon dalam sidang umum, oleh karena itulah frasa barang siapa dirasa lebih tepat, artinya subjek yang terikat sumpah profesi, bukan sumpah jabatan bukanlah adressat norm umum, secara prosedural melalui dewan etik/kehormatan untuk pelepasan dari profesi – sebagai natuurlijk persoon – untuk menjadi urusan publik, tidak serta-merta diproses pidana, malah hasil sidang etik bisa membantu proses peradilan.
Kebanyakan ahli dan pejabat berargumen bahwa ini berkaitan dengan dignity (martabat) soal adab, mala in se. Oleh karena itu, sebelum hak profesional Advokat itu dilepaskan dari individu melalui dewan kehormatan maka proses hukum lainnya terkait dugaan perbuatan pribadi harus dianggap premature.
Ini sejalan dengan pendapat tim Naskah Akademis KUHP-BPHN mengenai penindakan terhadap Advokat tidak mesti merupakan tuntutan pidana, dapat saja berbentuk tindakan administratif, seperti halnya dalam penindakan terhadap ABN (Buyung) atau didahului mekanisme etik lainnya yang lebih tepat.
Penulis membuka kembali risalah dengar pendapat 19 Juni 2002 dan 30 Januari 2003 Pansus RUU Advokat, pada intinya membahas bahwa muara penegakkan dan yang menafsirkan secara praksis perilaku Advokat adalah dewan kehormatan, disitulah pertarungan penafsirannya, maka dari itu pengawasan terhadap advokat ini bukan hanya oleh organisasi advokat saja, tetapi kepada pengadilan sebagai pemegang kekuasaan Yudikatif. Bahkan perwakilan Pemerintah sendiri mengatakan bahwa selama ini kita salah kaprah karena pemerintah melakukan pengawasan.
Anatomi Obstruction Of Justice
Menurut penulis, sangat keliru jika OoJ masuk kategori Contempt of Court (CoC) atau penghinaan pada pengadilan, sebab mayoritas kasus yang diangkat hanya terjadi pada level proses peradilan, apalagi Advokat jelas-jelas merupakan bagian dari fungsi kekuasaan kehakiman yang artinya bagian dari pengadilan itu sendiri sebagai petugas persidangan, disisi lain itu juga dapat dimaknai bahwa Advokat pun dapat mengawasi persidangan dari tindakan CoC, baik oleh rekan penegak hukum, peserta sidang maupun pemirsa sidang.
Meskipun OoJ terdapat dalam UU Ptipikor namun ancaman itu bisa ditujukan pada polisi, jaksa, hakim, dan advokat yang masih kental dengan mental pengacara pokrol maupun para saksi, tersangka, dan terdakwa.
Radbruch mengatakan bahwa hukum itu harus memenuhi nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kegunaan dan kepastian hukum. Namun demikian antara ketiganya terdapat suatu Spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh karena masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda antara yang satu dengan lainnya yang berpotensi untuk saling bertentangan, merupakan suatu kelaziman karena pada dasarnya hukum memang bersifat antinomi yaitu bisa berpasangan tapi juga sekaligus berlawanan.
Terlalu sempit jika tindakan OoJ yang melemahkan pembuktian agar tidak terjerat putusan tertentu dipahami hanya dilakukan oleh pihak yang dianggap berlawanan dengan penegak hukum atau pemerintah, bahkan tindakan overspanning juga merupakan OoJ, rekayasa bukti atau fabricated of evidence, dan hal ini tidak hanya menjadi monopoli Advokat yang menjadi stigma.
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 UU Ptipikor diatas adalah juga hak daripada Advokat, suatu proses terkait pelaksanaan peran dan fungsi kekuasaan kehakimannya jika diganggu oleh pihak lain.
Faktanya, pengungkapan peristiwa hukum atau implementasi proses peradilan tergantung kepada mood daripada penegak hukum untuk dibawa kemana arahnya, bukan kepada pemahaman atas norma perundang-undangan, mestinya rekan penegak hukum memahami dulu bahwa posisinya adalah exclave dari Yudikatif.
Jangan sampai suatu penafsiran hukum yang mestinya terbentuk oleh sistem malah terjebak menjadi dibentuk oleh institusi sebagai pedoman internalnya, maka tidak berlebihan ketika Prof. Aswanto, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin mengatakan, “hukum semata-mata dijadikan sebagai instrumentalia oleh penguasa”. Jangan biarkan fallacy politik hukum menciptakan pintu kriminalisasi terhadap Advokat yang notabenenya adalah badan lain dari kehakiman yang melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman.
Advokat adalah salah satu unsur dalam sistem penegakan hukum yang memiliki posisi penting, untuk mendorong perubahan sikap Aparat Penegak Hukum dalam setiap tingkat peradilan sebagaimana pendapat Mr. S.M. Amin yang dikutip oleh Abdurrahman, “Tugas sebenarnya dari seorang Advokat adalah membantu hakim mencari kebenaran.” [Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1983, hlm. 211]
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL