Hukumonline.com – Komisi Yudisial (KY) tetap menganggap kebutuhan hakim agung (CHA) atau hakim ad hoc tindak pidana korupsi (Tipikor) bukan sekadar mengisi kekosongan semata. Sejak awal KY berkomitmen akan maksimal dalam setiap pelaksanaan rekrutmen CHA atau hakim ad hoc untuk menjawab kebutuhan riil di Mahkamah Agung (MA).
“Jadi, alasan KY tidak memenuhi kebutuhan jumlah CHA dan hakim ad hoc Tipikor yang dibutuhkan MA karena belum dapat memenuhi standar kompetensi yang telah ditentukan KY. KY tidak mau berspekulasi hanya sekedar memenuhi jumlah kebutuhan,” ujar Juru Bicara KY, Farid Wajdi saat dihubungi, Selasa (12/7).
Farid mengatakan bila setiap tahapan proses seleksi KY tidak menemukan calon yang cukup layak, maka KY tidak akan memaksakan untuk memenuhi kuota jumlah hakim yang dibutuhkan MA. Makanya, dalam seleksi CHA dan calon hakim ad hoc Tipikor kali ini KY hanya mengusulkan 5 CHA dan 2 calon hakim ad hoc Tipikor ke DPR yang dinilai layak dari sisi kualitas dan integritas.
“Sebab, sedari awal KY tetap berpendirian hanya calon yang layak secara kualitas dan integritaslah yang akan diluluskan KY,” kata dia.
“Sekalipun ada kekosongan kursi hakim agung, tetap saja tidak ada alasan memaksa penuhi kuota jika tidak ada CHA yang layak diluluskan. Sekali kami pernah melakukan itu dan akan terus begitu,” tambah Farid.
Ditegaskan Farid, KY tidak ingin menjadi lembaga “stempel” yang akan mengabulkan setiap kuota kebutuhan hakim agung atau hakim ad hoc di MA. Menurutnya, usulan kebutuhan hakim agung atau hakim ad hoc umumnya menutupi kekurangan jumlah hakim. Makanya, lanjut Farid, MA seharusnya dapat segera mengajukan permintaan kembali kepada KY untuk mengisinya.
Dijelaskan Farid, secara normatif KY hanya berwenang mengusulkan CHA atau calon hakim ad hoc kepada DPR. Proses selanjutnya terkait mekanisme persetujuan atas usulan tersebut merupakan wewenang DPR. “Terminologi mekanisme ’persetujuan’ sesuai UU ini, DPR yang berwenang menafsirkannya,” ujarnya.
Sebab, faktanya DPR sendiri juga bukan sekadar tukang stempel atas setiap usulan CHA atau hakim ad hoc. DPR berhak mengetahui kualitas dan integritas atau mengenali lebih dekat kapasitas masing-masing calon. Artinya, DPR punya kompetensi menilai kelayakan setiap CHA atau calon hakim ad hoc yang diusulkan KY.
“Tujuh Kandidat yang kita usulkan kemarin sudah ranah kewenangan DPR. Prinsipnya, KY hanya menyodorkan (mengusulkan, red) yang terbaik, disetujui atau tidak wewenang penuh DPR,” tutupnya.
Sebelumnya, KY mengusulkan 5 CHA dan 2 calon hakim ad hoc Tipikor untuk meminta persetujuan DPR pada 30 Juni lalu. Kelima CHA itu adalah Ibrahim (Perdata), Panji Widagdo (Perdata), Setyawan Hartono (Perdata), Kol. Chk. Hidayat Manao (Militer), Edi Riadi (Agama). Sedangkan, dua kandidat Hakim Ad Hoc Tipikor yakni Dermawan S. Djamian dan Marsidin Namawi.
Padahal, MA meminta CHA sebanyak 8 orang dengan komposisi 4 hakim agung kamar perdata, 1 hakim agung kamar pidana, 1 hakim agung kamar Agama, 1 hakim agung Militer, dan 1 hakim agung Tata Usaha Negara (TUN) dan 3 hakim ad hoc Tipikor di MA. KY tidak mengusulkan 1 nama untuk kamar perdata, kamar pidana, dan TUN. Sedangkan, KY hanya mengusulkan 2 nama dari 3 Hakim Ad Hoc Tipikor yang diminta MA.
DPR berjanji akan membahas usulan 7 kandidat hakim agung dan hakim ad hoc Tipikor setelah selesai masa cuti Hari Raya Idul Fitri. Lalu, Komisi III DPR akan menggelar uji kepatutan dan kelayakan masing-masing kandidat dan selanjutnya memberikan persetujuan kelulusan.
(Kongres Advokat Indonesia)