Cnnindonesia.com – Relawan pendukung Joko Widodo (Jokowi) yang tergabung dalam Projo menepis tudingan Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa bahwa Jokowi tak serius dalam menanggapi kasus suap yang belakangan marak di lembaga peradilan.
“Pernyataan politisi Gerindra itu didasarkan pada posisi politiknya sebagai oposisi pemerintah. Yang pasti pemerintahan Jokowi terus bekerja menata dan memperbaiki sistem hukum di Indonesia,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Projo Budi Arie Setiadi kepada CNNIndonesia.com, Ahad (3/7).
Menurut Budi peran pemerintah adalah mengubah paradigma Mahkamah Agung. “Pemerintah saat ini hanya dapat membuat dan atau merevisi UU yang menyangkut kekuasaan kehakiman,” ujar Budi.
Budi menyatakan kekuasaan kehakiman atau yudisial adalah kekuasaan yang merdeka atau independen terlepas dari kekuasaan eksekutif berdasarkan Pasal 24 UUD 1945. “Presiden tidak bisa intervensi terhadap kekuasaan kehakiman yang dijalanakan oleh MA dan MK. Kita menganut Trias Politika,” ucap Budi.
Sebagai kepala negara, kata Budi, Presiden Jokowi hanya bisa membantu melakukan koordinasi terhadap lembaga-lembaga kekuasaan kehakiman, dan masalah penegakan hukum Presiden bisa masuk melalui penguatan kepolisian dan kejaksaan serta tentunya juga penguatan KPK.
Dia menilai dengan banyaknya operasi tangkap tangan atau OTT yang dilakukan KPK terhadap aparat pengadilan seperti panitera maupun hakim justru menunjukkan di era Jokowi penegakan hukum sudah berjalan semakin baik dan lebih konsisten. “Karena pengadilan adalah sarang mafia peradilan yang harus dibersihkan sebagai bagian dari agenda reformasi. Harus dituntaskan pemberantasannya,” kata Budi.
Budi menegaskan pemberantasan mafia peradilan harus terus dilakukan karena mafia peradilan juga merupakan akar dari masalah korupsi di Indonesia. Menurut dia, Presiden seharusnya tidak mengalami kesulitan dalam penegakan hukum terhadap aparat pengadilan khususnya terhadap pemberantasan mafia peradilan.
Adapun terkait adanya usulan pembentukan lembaga pengawas di luar MA, menurut Budi tidak perlu dibuat lembaga baru. “Untuk melakukan pengawasan kekuasaan kehakiman atau aparat peradilan tidak usah dibentuk lembaga baru, cukup memperkuata kembali KY dengan merevisi UU KY dan UU MA maupun UU Kekuasaan Kehakiman,” kata dia.
KY dan MA, ujar Budi, harus bersama-sama dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dan aparat peradilan lainnya. “Jika perlu melibatkan KPK atau aparat penegak hukum lainnya,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono mengatakan Jokowi sebaiknya juga memberi perhatian serius soal maraknya aparat peradilan yang ditangkap KPK belakangan ini. “Paling tidak ada respons dari Presiden atas problem pengadilan walaupun bukan wilayahnya. Ini berarti reformasi perdilan kita bermasalah, khususnya pengawasan aparatur pengadilan,” kata Supriyadi kepada CNNIndonesia.com, Minggu (3/7).
Supriyadi menekankan bahwa yang harusnya bergerak cepat atas masalah tersebut adalah MA sendiri karena seperti tidak ada gerakan yang signifikan dari MA. “Kalau Komisi III DPR mau respons masalah ini dengan mengundang MA bagus, tapi bisa juga Komisi III bikin kajian khusus atau tim khusus untuk soal suap aparat pengadilan,” ujarnya.
Sebelumnya Desmond menagih ketegasan Jokowi dalam memberantas korupsi. Dia berpendapat, Presiden harus mengambil sikap mengatasi permasalahan jajaran penegak hukum dan peradilan yang sudah berulang kali ditangkap KPK. “Yang kami tunggu adalah statement presiden terkait kondisi yudikatif. Selama ini presiden tidak pernah komentar apapun terkait penangkapan terhadap pejabat yudikatif,” kata Desmond saat dihubungi, Jumat (1/7).
Menurut Desmond, peristiwa tersebut menunjukkan berbagai upaya reformasi hukum yang dicanangkan pemerintah selama ini tidak berjalan. Dia menilai jika tak ada sikap tegas dari presiden, korupsi akan merajalela di dunia peradilan. “Ini menuju negara gagal. Ini krisis politik, hukum dan lainnya. Hukum dihargai dengan uang hari ini. Amanat konstitusi tak dipatuhi. Negara ini sudah seperti hutan belantara. Siapa yang berkuasa, siapa yang punya uang, itulah yang menang,” tuturnya.
Sementara itu rekan Desmond di Komisi III DPR yakni Arsul Sani mengusulkan pembentukan lembaga pengawas di luar MA. Dia berpendapat, kebijakan satu atap dalam soal pengawasan aparatur yudisial di luar hakim sudah saatnya ditinjau kembali
(Kongres Advokat Indonesia)