Honorary Chairman KAI Soroti Praperadilan hingga Ketimpangan Peran Advokat dalam RUU KUHAP - Kongres Advokat Indonesia

Honorary Chairman KAI Soroti Praperadilan hingga Ketimpangan Peran Advokat dalam RUU KUHAP

Honorary Chairman Kongres Advokat Indonesia, Tjoetjoe Sandjaja Hernanto menyuarakan pentingnya reformasi menyeluruh terhadap sistem hukum acara pidana di Indonesia. Berbagai pandangan kritis serta usulan konkret disampaikan guna menjadi masukkan dalam pembaruan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1981tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang masih disusun daftar inventarisasi masalah (DIM) oleh pemerintah.

Salah satu sorotan utama Tjoetjoe adalah sistem pra-peradilan yang selama ini dianggap tidak menjamin keadilan sepenuhnya. Putusan pra peradilan yang saat ini hanya dilakukan di satu tingkat dan diputuskan hakim tunggal membuka celah kesalahan. Dia mengusulkan untuk menyediakan mekanisme upaya banding dalam proses pra peradilan agar keputusan tersebut dapat diuji kembali di tingkat yang lebih tinggi.

“Agar lebih adil,” ujar Tjoejoe saat berbincang dengan Hukumonline, Kamis (5/6/2025) kemarin.

Dia menerangkan, upaya hukum banding menjadi langkah terakhir. Namun terpenting, saat permohonan praperadilan didaftarkan, maka proses hukum di tingkat penyidikan mesti berhenti terlebih dulu. Setidaknya sampai dengan terbitnya putusan praperadilan soal dikabulkan atau ditolak.

“Jangan sampai seperti kasus Hasto dan yang lain, begitu ada permohonan praperadilan, berkas perkaranya buru-buru dilimpahkan ke pengadilan, supaya praperadilannya gugur. Itu tidak fair. Jadi harus menunggu putusan praperadilan itu keluar sampai diputus hakim” ujarnya.

Pendiri Kantor Hukum Officium Nobile Indolaw (Indolaw) itu juga menyoroti praktik penahanan yang dilakukan sembarangan. Selama ini, menurutnya penahanan terlalu mudah dilakukan penyidik. Dalam sistem peradilan, seseorang yang ditahan seharusnya dapat dibebaskan dengan jaminan dari seorang advokat.

Prinsip ini penting untuk menyeimbangkan hak tersangka dengan kewenangan penyidik. Penangguhan penahanan tidak bisa juga semata-mata menjadi wewenang sepihak, melainkan harus tersedia mekanisme legal yang bisa digunakan oleh pihak pembela.

“Tentu ada syarat tambahan seperti besaran biaya bagi yang mampu atau surat keterangan bagi yang tidak mampu, tapi intinya adalah membuka jalan agar penahanan tidak menjadi alat tekanan,” jelasnya.

Ketidakpastian hukum pun tidak luput dari sorotan. Tjoetjoe menilai banyak kasus hukum yang statusnya digantung selama bertahun-tahun tanpa kejelasan, khususnya setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Seperti nasib eks Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Prof Denny Indrayana.

Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek payment gateway di Kementerian Hukum dan HAM, berlarut hingga lebih dari satu dekade tanpa kepastian status hukum. Oleh karena itu dalam KUHAP yang baru, status penyidikan dan tersangka harus dibatasi waktunya secara ketat.

“Kalau satu perkara sudah naik ke tahap penyidikan, maka harus ada batas waktu maksimum, satu tahun, paling lama dua tahun. Jika lebih dari itu tidak dilanjutkan, perkara harus dinyatakan selesai demi kepastian hukum,” tegasnya.

Dalam hal peran advokat, Tjoetjoe menekankan pentingnya kesetaraan antara aparat penegak hukum (APH),polisi, jaksa, hakim, dengan advokat. Sayangnya, dalam praktik, advokat seringkali hanya diposisikan sebagai pendamping pasif yang tidak memiliki kewenangan aktif dalam membela klien. Padahal, dalam UU Advokat, profesi advokat dinyatakan sebagai penegak hukum yang kedudukannya setara. Advokat harus diberi peran aktif dalam seluruh proses hukum melalui adanya KUHAP baru, termasuk diberi hak memasang perangkat rekaman sebagai pembanding dalam pendampingan.

“Kadang kita ini dianggap penonton. Padahal kita penegak hukum. kita harus bisa aktif, kalau penyidik pasang CCTV, advokat juga harus bisa. Fair,” imbuhnya.

Pola pemeriksaan yang dilakukan selama ini pun, dinilainya kerap melewati batas waktu manusiawi. Pemeriksaan yang berlangsung hingga tengah malam atau dimulai berjam-jam setelah undangan diterbitkan, harus diatur dengan jelas dalam KUHAP.

“Proses pemeriksaan harus dibatasi, misalnya maksimal 5 jam, dan tidak boleh berlangsung lebih dari pukul 7 malam,” imbuhnya.

Kewajiban pendampingan advokat

Mantan Presiden KAI dua periode itu menuturkan, pentingnya KUHAP baru mengatur secara tegas kewajiban pendampingan hukum oleh advokat sejak awal proses hukum. Semua warga yang diperiksa oleh APH maupun lembaga lainnya harus didampingi advokat. Tidak cukup jika hanya disebut ‘dapat didampingi’, tetapi harus secara eksplisit dinyatakan sebagai kewajiban hukum.

“Mulai dari permintaan keterangan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan, wajib didampingi oleh advokat, dan kalau yang bersangkutan tidak mampu, maka Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Organisasi Bantuan Hukum (OBH) harus menyediakan pendampingan. Tidak ada alasan seseorang tidak didampingi,” ujarnya.

Alasan utama dari kewajiban pendampingan ini, menurut Tjoetjoe sangat mendasar. Yakni, tidak semua orang paham hukum, tidak adil pula jika seseorang yang tidak memahami hukum diperiksa tanpa pendampingan dari mereka yang memiliki pengetahuan hukum. Dia mengingatkan untuk memberikan akses penuh bagi advokat yang bertujuan bertemu dengan kliennya kapanpun diperlukan demi kepentingan pembelaan.

Pembatasan akses seperti ini, hanya akan melemahkan hak pembelaan dan memperkuat ketimpangan dalam sistem hukum. Dia berharap melalui revisi KUHAP ke depan dapat menjamin keadilan substantif dan perlindungan HAM bagi semua pihak yang terlibat dalam proses hukum.

“Hanya dengan sistem yang transparan, setara, dan manusiawi, penegakan hukum di Indonesia bisa menjadi lebih adil dan dipercaya publik,” tegasnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Hukum, Prof Edward Omar Sharif Hiariej menyebut RUU KUHAP diwajibkan selesai pada tahun 2025. Pasalnya KUHAP memiliki kaitan dan dampak besar terhadap pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan berlaku pada 2 Januari 2026.

“Mau tidak mau, suka tidak suka, bahkan senang atau tidak senang RUU KUHAP harus disahkan pada tahun 2025 ini. RUU KUHAP memiliki implikasi signifikan terhadap KUHP,” kata Wamen yang kerap disapa Eddy dalam rilis pers Kemenkum, Rabu (28/5/2025) pekan lalu.

Proses RUU KUHAP pun melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mendapatkan masukan dalam penyusunannya. Kemenkum telah membangun diksi bersama para tenaga ahli di bidang hukum, Kementerian, hingga civitas akademika sebagai bentuk partisipasi publik. hukumonline

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024