Momentum emas bagi KAI untuk tidak hanya memperkuat internal organisasi, tetapi juga memperjuangkan sistem hukum nasional yang adil, modern, dan kompetitif secara global.
Genap sudah 17 Tahun bagi Kongres Advokat Indonesia (KAI) saat tanggal menunjuk 30 Mei 2025 lalu. Jejak panjang perjalanan nyaris mendekati dua dekade, KAI mewarnai peta dunia advokat nasional dengan berbagai dinamika, tantangan, dan prestasi. Momentum ulang tahun ke-17 dijadikan tonggak refleksi serta ajakan untuk mengambil peran strategis dalam proses perubahan sistem hukum di Indonesia.
Honorary Chairman Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KAI periode 2024-2029, Tjoetjoe Sandjaja Hernanto mengatakan usia 17 tahun bagi organisasi seperti KAI masih tergolong sangat muda. Setidaknya bila dibandingkan dengan organisasi sejenis di luar negeri seperti salah satu organisasi di Jepang yang telah berusia lebih dari 130 tahun.
“Ini belum ada apa-apanya, tapi justru karena muda, inilah saatnya belajar dan memperjuangkan sistem hukum yang lebih baik,” ujar Tjoetjoe saat berbincang dengan Hukumonline, Kamis (5/6/2025) kemarin.
KAI sempat terseok-seok selama beberapa tahun. Soalnya organisasi advokat KAI tak mendapat dukungan pemerintah seperti organisasi lainnya. Namun situasi berubah saat Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 101/PUU-VII/2009, No. 112/PU-XII/2014, dan No. 36/PUU-XIII/2015 membuka ruang bagi organisasi advokat lainnya dalam sistem multibar. Kendati pun pengakuan terhadap sistem tersebut masih diperdebatkan hingga kini, namun terbuka peluang bagi organisasi advokat lainnya.
Sebagai bagian dari refleksi ulang tahun ke-17, Tjoetjoe menyoroti pentingnya KAI menjadi bagian aktif dalam pembaruan sistem hukum nasional. Mengingat hukum di Indonesia memasuki era baru dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu masih diprosesnya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang akan direvisi.
“KAI harus mengambil peran, tapi bukan untuk kepentingan organisasi semata, melainkan demi kepentingan penegakan hukum yang lebih baik bagi semua,” jelasnya.
Dia menyinggung perlunya Indonesia membuka diri terhadap dinamika hukum global. Apalagi banyak negara yang sudah membuka pintu bagi praktik hukum lintas negara, termasuk hadirnya pengacara asing di wilayah domestic. Meski UU Advokat di tanah air membatasi praktik litigasi bagi advokat asing, mereka tetap bisa menangani urusan korporasi di Indonesia.
“Pengacara asing bisa masuk dan membantu perusahaan negaranya yang beroperasi di sini. Maka pertanyaannya, mengapa pengacara Indonesia tidak bisa melakukan hal yang sama ke luar negeri?” tanyanya.
Untuk itu, Tjoetjoe mengimbau pengacara Indonesia untuk meningkatkan kapasitasnya agar bisa bersaing dan berkolaborasi di tingkat internasional. Kini, sudah saatnya advokat Indonesia berpikir lintas batas di era dunia hukum yang tidak memiliki batas.
“Advokat sekarang harus berpikir global. Dunia hukum sudah borderless,” tegasnya.
Advokat senior yang juga pendiri Kantor Hukum Officium Nobile Indolaw (Indolaw) itu mengusulkan agar ke depan tidak hanya organisasi advokat yang diperkuat, tetapi juga asosiasi kantor hukum. Menurutnya, keberadaan asosiasi kantor hukum sangat penting untuk mengatur kolaborasi, standarisasi, serta peningkatan kualitas layanan hukum di Indonesia.
“Kantor hukum harus punya asosiasi sendiri. Itu rumahnya. Sekarang ini banyak kantor hukum yang overload pekerjaan, sementara yang lain kekurangan. Kalau ada asosiasi, mereka bisa kolaborasi dan berbagi proyek. Ini cara memperkuat ekosistem hukum,” katanya.
Bagi Tjoetjoe, asosiasi tersebut pun kalau bisa bekerja sama dengan Badan Sertifikat Nasional (BSN) guna membuat sistem akreditasi kantor hukum di Indonesia. Dengan sistem pemeringkatan seperti A, B, C, dan D, sehingga masyarakat maupun klien internasional bisa mendapat kepastian mutu dari kantor hukum yang akan mereka pilih.
Pada usia ke-17 ini menurutnya bisa menjadi momentum emas bagi KAI untuk tidak hanya memperkuat internal organisasi, tetapi juga memperjuangkan sistem hukum nasional yang adil, modern, dan kompetitif secara global.
“Jangan hanya jadi organisasi yang besar anggotanya, tapi kosong kontribusinya. Kita harus jadi bagian dari perubahan,” tutup Tjoetjoe. hukumonline