Perdebatan
Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat No. 757/Pdt.G/2022/PN JKT.Pst menjadi perdebatan sengit dalam dunia hukum, selain diduga melampaui kewenangannya sekaligus keliru. “Kita harus melawan secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul,” ujar Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Moh Mahfud MD dalam keterangannya, Jumat (3/3/2023)
Menurut beliau putusan tersebut adalah sensasi yang berlebihan, putusan majelis hakim dengan diketua T Oyong, dan dua hakim anggota H Bakri serta Dominggus Silaban keliru dan salah.
Petitum No. 5 dari Putusan Nomor 757 menjadi perdebatan, tepatnya penafsiran atas rangkaian kalimat pada petitum tersebut menjadi multi tafsir. Frasa “…mengulang tahapan-tahapan Pemilu mulai dari awal…” diartikan atau ditafsirkan sebagai putusan untuk menunda pemilu.
“MA menjaga agar pengadilan di bawah MA tetap independen,” kata Juru Bicara MA, Hakim Agung Suharto. “Seperti yang diketahui, gugatan di PN Jakarta Pusat kepada KPU oleh Partai Prima merupakan upaya gugatan keempat. Partai Prima merasa dirugikan karena KPU tak meloloskan mereka dalam tahapan verifikasi administrasi calon peserta Pemilu 2024. Akibatnya, mereka meminta PN Jakpus menghukum KPU untuk tak melanjutkan sisa tahapan Pemilu 2024. Dalam amar putusannya pada Kamis (2/3/2023), PN Jakpus kemudian menerima gugatan Partai Prima. Dalam salah satu poinnya, PN Jakpus meminta KPU untuk tak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024”, imbuhnya.
Putusan Perkara Perdata Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst memang putusan yang tidak biasa, bukan berarti keliru sebab Putusan Hakim bersifat res judicata yang dimaknai bahwa kasus telah diputuskan secara definitif (pasti).
Membahas Aturan
PERMA Nomor 2 Tahun 2019 Pasal 2 ayat (1) jelas menyebut “perbuatan melanggar hukum” yang dijelaskan dalam ayat (3) dengan frasa “khusus upaya administratif maka yang berwenang mengadili Sengketa Tindakan Pemerintahan adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Pengadilan tingkat pertama”.
Merujuk pendapat Munir Fuady, tindakan ilegal didefinisikan sebagai tindakan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum pencipta atau melanggar hak orang lain.
Mengutip pendapat E. Utrecht, perbuatan pemerintah sebagai penyelenggara kesejahtraan umum ialah “Seperti semua subjek hukum lain, maka administrasi-pun tunduk juga pada hukum sipil (privat), yang dapat penulis sebut hukum biasa (gemenrecht; Hamaker, Scholtern) agar dapat menyelenggarakan (pembahagian dari tugasnya, maka administrasi dapat juga seperti semua subjek hukum yang lain menggunakan perhubunganperhubungan hukum yang dipakai subjek hukum lain itu. [Phillipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan ke-13, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2019, hal. 307]
Salah satu dampak dari perluasan konsep KTUN tersebut adalah tindakan faktual (feitelijk handelingen) yaitu perbuatan yang melanggar, bukan perbuatan melawan, jelas, tidak ada yang dilanggar oleh KPU selain memang (mungkin) melawan atau mengabaikan apa yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan yaitu Putusan BAWASLU.
Kembali Ke Akar
Dalam Lindenbaum – Cohen Arrest juga terdapat kriteria perbuatan melawan hukum yaitu bertentangan dengan kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Kembali pada akar kata onrechmatig, bahwa rechmatig secara etimologi berarti sah sehingga secara gramatikal onrechtmatig mestinya merupakan suatu perbuatan melanggar hukum yang berujung pada sah atau tidaknya suatu tindakan faktual ataupun produk tindakan.
Mengacu pada uraian Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (hal. 7), menyebutkan berbagai macam asas hukum, salah satunya res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar.
Pada hakikatnya, secara gramatikal terjemahan dari res judicata pro veritate habetur adalah “hal yang dinilai dianggap sebagai kebenaran”, yang secara kontekstual hanya hal-hal yang dinilai oleh hakimlah yang dianggap kebenaran, artinya selain dari yang dinilai maka diabaikan sebab dianggap masih meragukan (tidak diyakini sebagai kebenaran) atau yang memang berdasarkan pembuktian jelas bukan kebenaran atau diabaikan karena diluar pokok gugatan.
Merujuk pendapat Prof. Wirjono Prodjodikoro, badan hukum adalah suatu badan yang di samping manusia perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain, artinya KPU ditinjau dari Organ Theorie adalah subjek hukum.
Secara teoritik badan hukum adalah subyek hukum yaitu segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Ia disebut subjek hukum karena menyandang hak dan kewajiban hukum. Sebagai subjek hukum, badan hukum juga memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana subyek hukum orang atau individu.
Bahkan menurut Bryan A. Garner. (dalam Hapsari, 2014: 79) menerangkan bahwa dalam kepustakaan Inggris, istilah badan hukum sering kali disebut dengan istilah legal entity, juristic person, atau artifficial person.
Mendudukkan Perkara
Berbeda dengan perkara 757 tersebut yang menjadi pokok adalah, sebagai berikut.
- Halaman 22 huruf ff yaitu “…ketidakpatuhan Tergugat melaksanakan keputusan Bawaslu…”.
- Halaman 30 huruf vv yaitu “…mempengaruhi para anggota Penggugat se-Indonesia dan pengurus-pengurus Penggugat di daerah… untuk memulihkan keadaan Penggugat serta terciptanya keadaan yang adil dan sama untuk Penggugat…”.
Ternyata permasalahan tersebut diatas ditanggapi melalui ratio decidendi dari Majleis Hakim Pemeriksa Perkara, sebagai berikut.
- Halaman 86 yaitu Konsiderans, “…bahwa yang menjadi persengketaan antara kedua belah pihak adalah tindakan Terguat yang tidak melaksanakan Putusan BAWASLU Nomor 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022 tanggal 4 November 2022…”
- Halaman 98 yaitu Konsiderans, “…(Tergugat sekarang) tidak melaksanakan sepenuhnya perintah dari amar yang tercantum dalam Putusan Penyelesaian BAWASLU RI Nomor 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022 tanggal 4 November 2022 tersebut…”
- Halaman 99 alinea 2 yaitu Konsiderans, “…menunjukan Tergugat tidak patuh dalam menjalankan Putusan BAWASLU…”
- Halaman 100 alinea 2 yaitu Konsiderans, “…sikap Tergugat tersebut juga bertentangan dengan Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022…”
- Halaman 100 alinea yaotu Konsiderans, “…dengan demikian terbukti Termohon tidak melaksanakan perintah dalam Putusan Penyelesaian…”
Maka jelas dalam hal ini penguasa atau pejabat yang membuat keputusan tersebut terhadap Penggugat maupun Tergugat adalah BAWASLU yang tidak dipermasalahkan oleh Penggugat, sehingga dalam perkara tersebut baik Penggugat maupun Tergugat didudukkan sebagai pihak-pihak yang seharusnya mematuhi Putusan BAWASLU, artinya kedudukan mereka terhadap Putusan tersebut adalah sebanding.
Perkara 757 bukanlah soal pelanggaran hukum tapi lebih kepada perbuatan melawan hukum yang tidak melaksanakan atai tidak patuh pada putusan dari pihak yang berwenang yaitu BAWASLU terhadap KPU.
Lagipula, apa yang menjadi penilaian MH dalam perkara tersebut benar dan terbatas pada perbuatan melawan hukumnya, tidak perlu yang lain untuk dinilai, sehingga:
- Putusan dalam perkara tersebut hanya mengikat kepada Penggugat dan Tergugat;
- Sebagaimana terbaca pada petitum dan putusan bahwa tidak ada satupun frasa kalimat yang menyatakan bahwa pihak lain yang mendapatkan hak atau keuntungan dari Tergugat harus tunduk pada putusan ini;
- Sifat perdata adalah private ke perbuatan KPU sebagai subjek hukum terhadap Prima, berbeda dengan TUN yang administratif KPU sebagai pejabat pembuat keputusan.
Akibat Hukum
Lagipula, tidak ada frasa soal penundaan pemilu dalam putusan tersebut, selain hanya menjadi tafsiran sempit – sah-sah saja, memang – atau pendekatan makna politik saja.
Apapun perubahan, perbaikan, penghentian maupun penundaan dalam wilayah keperdataan hanya mengikat kepada para pihak yang bersengketa saja. Artinya, putusan ini hanya berlaku terhadap penundaan pemilu bagi Penggugat saja dan Tergugat harus tunduk pada putusan ini, ketaatan dan penundukan tidak untuk negara dan pihak-pihak lain.
Jadi, bukan berarti putusan tersebut salah tapi memang unik, beginilah bila berhubungan dengan kompetensi sebab terbatas hanya mengikat para pihak yang bersengketa saja, tidak berlaku untuk yang lain.
Masalah yang menjadi polemik hukum adalah yurisdiksi gugatannya, mengenai administrasi atau perbuatan melawan hukumnya sehingga memang ada 2 kompetensi yang beririsan.
Apakah bisa PRIMA memposisikan KPU tidak sebagai penguasa sehingga tidak harus digugat di TUN? Ternyata masih terdapat celah hukum positifnya.
Apakah ada larangan untuk menggugat? Secara positif tidak ada.
Polemik hukum dan putusan ini justeru bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pembentuk peraturan perundang-undangan dalam merumuskan ulang supaya celah hukum bisa direlatifisir.
Apakah perkara itu merupakan kesepakatan politik? Ya, terhadap para pihak yang bersengketa, lagipula memang sudah menjadi keharusan ketika penetrasi judicialization of politics maka Mahkamah dapat memposisikan diri sebagai institusi yang berhubungan dengan politik, maka diperluaslah judicial activism secara kasuistik.
Dan, putusan tersebut sudah tepat sebab hanya mengikat dan terbatas pada para pihak yang merasa bersengketa, lagipula semua pihak tetap hadir hingga putusan dibacakan dan palu diketuk, sepakat untuk tidak sepakat, inilah konsekuensi hukum yang harus diterima oleh politik yang mencoba membongkar yurisdiksi Yudikatif.
Pulang
Menurut Roscoe Pound hukum seharusnya adalah kesepakatan sosial, sehingga penulis berpendapat bahwa yang menjadi kesepakatan politik adalah peraturan perundang-undangan, bukan hukum, oleh karenanya butuh penguatan Yudikatif untuk menghasilkan putusan-putusan yang kokoh dalam domainnya.
Menurut penulis, disinilah kepentingan Aksi Judisial yang menjadi paradigma baru di Mahkamah Agung, menuntut inisiasi dari para Hakim, tidak terjebak dalam Politik Praktis dan/atau Yudisialisasi Politik.
Bahkan Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyebut ada kekuatan besar yang menggunakan celah hukum untuk menunda pemilu. “Ada sebuah kekuatan besar yang mencoba menggunakan celah hukum, untuk melakukan suatu gerak yang pada dasarnya adalah inkontitusional untuk menunda pemilu,” jelas Hasto penulis kutip dari detiknews, Sabtu (4/3/2023)
Perbedaan sudut pandang dan kajian berdasarkan pilihan objek bahasan dan kompetensinya justeru semakin memperkaya wawasan teknis dan administrasi Advokat itu sendiri. Kekuasaan untuk menegakan hukum tersebut pada akhirnya kembali lagi adalah hukum itu sendiri.
Meski mungkin ada ketidakcocokan namun penulis tidak akan banyak melawan keputusan-keputusan bernuansa politis akibat interupsi, penetrasi dan intrusi politik di ruang hukum, tapi jelas meskipun minim daya penulis akan melawan keputusan-keputusan politik yang mencoba mengintimidasi hukum di ruang politik, sebab keputusan politik hukum harus kembali pulang kerumahnya.
*Adv. Agung Pramono, SH., CIL.
mantap