Pengertian Open Legal Policy yang Kerap Digunakan Hakim MK Dalam Menangani Judicial Review - Kongres Advokat Indonesia
Tim Advokasi dan Hukum PKS Daftarkan Gugatan Pileg ke MK

Pengertian Open Legal Policy yang Kerap Digunakan Hakim MK Dalam Menangani Judicial Review

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang sering menggunakan argumentasi open legal policy dalam menangani setiap pengajuan judicial review, nah sebenarnya apa sih itu open legal policy?

Ingatkah kamu dengan peristiwa yang menimpa Mahkamah Konstitusi (MK) di tahun 2016 lalu? Sebuah peristiwa yang menjadikan MK dituding sebagai pro zina dan LGBT, serta setuju dengan pelegalan LGBT. Peristiwa tersebut berawal dari putusan MK No.46/PUU-XIV/2016. Adanya keputusan tersebut bermula dari permohonan judicial review oleh 12 orang untuk uji materiil terhadap 3 pasal di KUHP, yaitu Pasal 284 tentang perzinahan, Pasal 285 tentang pemerkosaan, dan Pasal 292 tentang homoseksual.

Melansir melalui kompas.com (18/10/16), alasan permohonan uji materiil terhadap 3 pasal tersebut adalah karena adanya kekhawatiran terhadap ketahanan sebuah keluarga yang juga berdampak pada ketahanan nasional apabila ketiga pasal tersebut tetap dipertahankan.

Berdasarkan posita dari pemohon, Pasal 284 KUHP dinilai sudah tidak mampu mengartikan makna kata zina dengan menyeluruh. Hal ini dikarenakan dalam tatanan konteks sosiologis, perbuatan zina tidak hanya berkutat pada hubungan badan antara laki-laki beristri dan perempuan bersuami saja. Melainkan, juga hubungan badan oleh pasangan yang tidak terikat dalam pernikahan. Sehingga, pemohon memohon kepada MK untuk memperluas pengertian zina dalam KUHP.

Selain itu, untuk Pasal 285 KUHP permohonan dari pemohon adalah untuk menghapus frasa “seorang perempuan” pada pasal tersebut. Hal ini dikarenakan, frasa tersebut mengindikasikan jika perkosaan hanya terjadi terhadap perempuan saja, padahal dewasa ini, perkosaan bisa saja terjadi terhadap laki-laki. Sedangkan Pasal 292 KUHP, pemohon menilai ketentuan mengenai pembatasan umur (dewasa) pada pelaku homoseksual dalam pasal tersebut tidak seharusnya ada. Karena jika dibatasi, maka pelaku yang belum cukup umur masih akan bebas melakukan perbuatannya.

Dimana dalam putusannya, MK memutuskan menolak keseluruhan dari permohonan tersebut. MK menyatakan, bahwa kewenangan untuk memperluas makna zina serta membuat aturan pidana bagi hubungan sesama jenis bukanlah kewenangan dari MK. Melainkan kewenangan dari pembuat undang-undang dan termasuk dalam open legal policy.

Sebagai mahasiswa hukum memang sudah seharusnya untuk memahami maksud dari konsep open legal policy ini. Mengingat konsep ini termasuk hal baru dan relatif tidak dikenal sebelumnya. Oleh karena itu, di kesempatan kali ini akan membahas konsep dari open legal policy. Menarik bukan? Spesial buat kamu, disimak ya…

Konsep Open Legal Policy

Istilah open legal policy selama ini lebih dikenal dengan sebutan kebijakan hukum, yang dalam bidang studi kebijakan publik biasa disebut dengan istilah communitarian policy (kebijakan masyarakat), public policy (kebijakan publik), dan social policy (kebijakan sosial). Konsep ini dapat dimaknai sebagai suatu kebebasan bagi pembentuk undang-undang untuk membentuk, menafsir, dan merenungkan suatu kebijakan hukum (undang-undang).

Dengan kebebasan tersebut, memberikan dua pilihan berlawanan kepada pembentuk undang-undang. Pertama, dapat memberikan kesempatan luas dan fleksibel kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur negaranya. Kedua, dapat membahayakan pembentuk undang-undang apabila bertindak sewenang-wenang dalam menentukan apa dan bagaimana materi yang akan diatur.

Open legal policy merupakan konsep baru dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Konsep ini pertama kali dipergunakan oleh MK dalam putusannya No.10/PUU-III/2005. Namun, konsep ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam putusan tersebut. Dan baru muncul dalam putusan MK No.16/PUU-V/20017. Sehingga, ketentuan (norma) terkait open legal policy dapat diketahui melalui beberapa putusan MK.

Open legal policy dapat dilakukan jika dalam pelaksanaannya menganut amanah pembentukan peraturan perundang-undangan organik dan anorganik. Penerapan open legal policy dalam undang-undang organik dilakukan apabila terdapat kebijakan/pilihan hukum/kewenangan yang meminta untuk menafsirkan frasa dalam tiap ayat dan pasal, dan mengakibatkan frasa tersebut tidak lagi konstitutional karena telah dimaknai oleh pembentuk undang-undang. Sedangkan untuk undang-undang anorganik, pembentuk undang-undang memiliki keleluasaan untuk menentukan norma yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kepentingan dari pembentuk undang-undang.

Beberapa ketentuan yang termasuk dalam open legal policy adalah memaknai kata demokratis dalam Pasal 18 UUD 1945, memaknai kewenangan lain dari lembaga Mahkamah Agung (MA), serta memaknai penyelenggaraan dari pemilihan umum.

Selaras dengan hasil kajian dari Radita Adjie, yang menyebutkan bahwa keleluasaan pembentuk undang-undang dalam menentukan suatu aturan, larangan, kewajiban, dan batasan yang akan dimuat dalam suatu undang-undang dapat dilakukan dan tunduk dalam 3 syarat, yaitu tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945, tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang seperti melakukan perubahan/amandemen terhadap UUD 1945, serta tidak termasuk dalam penyalahgunaan kewenangan.

Sehingga, seandainya terdapat suatu undang-undang yang memiliki isi (materiil) yang buruk, bukan berarti MK dapat membatalkan undang-undang tersebut dengan mudah. Kecuali jika undang-undang tersebut secara jelas telah melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditolerir. Oleh karenanya, apabila masyarakat merasa tidak setuju terhadap suatu undang-undang, jalan yang tepat adalah dengan mengusulkannya kepada pembentuk undang-undang melalui mekanisme legislative review.

Bagaimana? Menarik bukan pembahasan kali ini. Buat kamu yang memiliki pertanyaan seputar open legal policy atau hal-hal lain tentang hukum, kamu bisa menanyakannya secara langsung kepada pakar hukum Indonesia melalui Heylaw. Yaitu platform yang menyediakan jasa konsultasi, bantuan, dan edukasi hukum yang dikemas secara menyenangkan dan mudah. Karena kamu tinggal download aplikasi Heylaw di Appstore atau Playstore. O iya, kamu juga bisa mengakses Kamus Hukum secara GRATIS, lho! Tunggu apalagi, download sekarang!!

Sumber:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016

Iwan Satriawan dan Tanto Lailam, Open Legal Policy dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pembentukan Undang-Undang, Jurnal Konstitusi Vol 16 No. 3, September 2019, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Muhammad Addi Fauzani dan Fandi Nur Rohman, Urgensi Rekonstruksi Mahkamah Konstitusi dalam Memberikan Pertimbangan Kebijakan Hukum Terbuka (Open Legal Policy), Jurnal Hukum Justitia Et-Pax, Vol. 35 No. 2, Desember 2019, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. HEYLAWEDU

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024
Presidium DPP KAI Kukuhkan 15 AdvoKAI & Resmikan LBH Advokai Lampung
July 20, 2024
Rapat Perdana Presidium DPP KAI, Kepemimpinan Bersama Itu pun Dimulai
July 3, 2024
Tingkatkan Kapasitas Anggota tentang UU TPKS, KAI Utus 20 AdvoKAI untuk Ikut Pelatihan IJRS
June 26, 2024