Quo Vadis RUU KUHAP? - Kongres Advokat Indonesia

Quo Vadis RUU KUHAP?

Rangkaian HUT Kongres Advokat Indonesia ke-17 juga diisi dengan Diskusi Publik RUU KUHAP dengan tema, “Menjamin Hak Pencari Keadilan Dan Ruang Kontestasi Berimbang Bagi Advokat Melalui Judicial Scrutiny”, Selasa, 8 Juli 2025, di Hotel Mercure, Sabang, Jakarta. Kerjasama Kongres Advokat Indonesia dengan Indonesian Center for Justice Reform (ICJR) didukung Kantor Hukum Officium Nobile Indolaw.

Keynote speech oleh Plt Dir. Eksekutif ICJR Meidina Rahmawati, SH, LLM, anggota Komisi III DPR-RI Dr. HM Nasir Djamil, Msi dan Presidium KAI Adv. Dr. Umar Husin, SH, MAP, CLA, CLI, CIL, CRA. Dengan narasumber yaitu, Ketua Presidium KAI Adv. Dr. KPH Heru S Notonegoro, SH, MH, CIL, CRA, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Dr. Prim Haryadi, SH, MH, Ketua Umum DPP IKADIN Dr. Maqdir Ismail, SH, LLM, Peneliti ICJR Iftitahsari, SH, MSc dan Akademisi Univ. Bina Nusantara Dr. Vidya Prahassacitta yang tergabung dalam ASPERHUPIKI (Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi), dengan moderator Sekjend. PBHI Gina Sabrina, SH, MH 

Hadir juga Honorary Chairman KAI Adv. Dr. Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, SH, MH, CLA, CIL, CLI, CRA, Presidium KAI Adv. Diyah Sasanti R, SH, MBA, MKn, CIL, CLI, CRA dan Sekretaris Umum KAI Adv. (Can.) Dr. Ibrahim, SH, MH, CLA, CIL, KI (K).

Materi pertama dibuka mba Iftitah dengan paparan hasil penelitian ICJR mengenai AUDIT KUHAP yang sudah dibukukan dengan judul Studi Evaluasi terhadap Keberlakuan Hukum Acara Pidana Indonesia, riset ini menguraikan berbagai masalah fundamental dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan global, karya ilmiah yang sungguh komprehensif dan sangat relevan.

Disarikan bahwa konsep dasar dari Hukum Acara Pidana adalah berbasis Hak Asasi Manusia, ini menjadi alasan kepentingan dari Judicial Scrutiny, pengawasan tindakan terhadap upaya hukum paksa untuk di uji oleh Hakim, dipaparkan dengan apik.

Disini, ICJR selalu siap mengawal RUU KUHAP ini melalui sesi-sesi RDPU, diskusi maupun seminar, diharapkan sebagai implementasi dari meaningful participation oleh publik, namun, di sisi lain ada kekhawatiran bahwa ini itikad pembentuk UU tidak jauh beda dengan penerapan sidang pra-peradilan yang terkesan formalistis, sebab paparannya belum pasti sebagai masukan yang secara garis besar mestinya mempengaruhi perumusan RUU KUHAP yang lebih baik dan memihak pada warga sipil.

Bang Maqdir yang menjadi narasumber berikutnya manyampaikan pendapat beliau sebagai salah seorang yang memiliki pemahaman bahwa mestinya penahanan itu tidak boleh dilakukan pada saat pemeriksaan, namun dilakukan ketika seseorang menjalani hukuman.

Di perbandingkan juga bahwa di era 60-an ada pembeda antara korupsi pidana dengan korupsi dalam keperdataan, dan itu tidak kita temui lagi sekarang.

Mengenai sitaan dalam pengalamannya seringkali ditemukan bahwa penyitaan bahkan dilakukan terhadap benda dan/atau barang yang tidak berhubungan sama sekali dengan perkara korupsi, termasuk juga pemblokiran terhadap rekening keluarga dan seterusnya.

Inilah juga yang menjadi perhatian penulis, penyimpangan kewenangan semacam ini tidak didudukkan sebagai premis dari rencana UU Perampasan Asset yang masih kontroversial namun memiliki banyak dukungan yang bahkan kemungkinan sedang dipolitisir hanya dengan mengganti nomenklatur menjadi RUU Penyelamatan Asset yang terkesan berbeda.

Menurutnya, soal penyadapan yang minimal harus dengan jelas diatur melalui Peraturan Pemerintah, moderator Gina menambahkan bahwa soal penyadapan ada dalam putusan MK dimana ia harus datur dalam UU.

Putusan-putusan dimaksud adalah Putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 dan Nomor 20/PUU-XIV/2016, intinya, menurut YM Guntur Hamzah, ada yang constitutional order yang belum diakomodir, yaitu membuat pengaturan penyadapan dalam satu undang-undang yang bersifat komprehensif.

Sebab, demi keperluan yang sangat penting seperti penegakan hukum, hak privasi dapat dibatasi namun tetap harus tunduk pada Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, yakni hanya dapat dilakukan pembatasan yang diatur dengan undang-undang.

Memang, dalam putusannya, MK mengungkapkan sampai saat ini belum terdapat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang penyadapan, hal ini disampaikan dalam Focus Group Discussion “Urgensi RUU Penyadapan dalam Sistem Penegakan Hukum Berbasis Prinsip Due Process of Law”  yang diselenggarakan oleh Komisi III DPR pada Rabu tanggal 15 Desember 2021 di Hotel Ritz Carlton, Jakarta.

Dari narasumber Vidya mengambil fokus pada differed prosecution agreement yang memang tidak menjadi substansi RUU KUHAP, namun dalam hal ini restorative justice yang belum diakomodasi, mengenai bagaimana selajutnya jika kesepakatan RJ ataupun DPA ditindaklanjuti jika tidak dilaksanakan dengan baik? Adakah upaya paksa? Sebab, meski secara formal itu memang dalam bentuk kesepakatan akan tetapi materi asalnya adalah pidana seperti halnya mediasi penal.

Selanjutnya, YM Prim Haryadi menyampaikan materi yang pada pokoknya Mahkamah Agung sebetulnya mempunyai pola yang sama dan sejalan dengan apa yang diajukan oleh Advokat.

Soal pra-peradilan, beliau berpendapat bahwa pra-peradilan kedepan diharapkan bukan hanya formalitas tapi juga menyangkut substansi, sehingga perihal pra-peradilan dan pemeriksaan persidangan dalam ranah pidana juga diatur secara khusus, sebab selama ini masih mengikuti acara perdata.

Ketua Presidium KAI, Heru menanggapi keingintahuan beberapa penanya dalam diskusi mengenai sejauh mana penjaminan oleh Advokat dapat dilakukan dan bagaimana bilamana ternyata subjek hukum yang dijamin tersebut justeru melarikan diri atau selalu menghindari proses peradilan?

Singkat, bahwa penjaminan oleh Advokat memang tidak bisa dilakukan sembarang Advokat sebab hal semacam ini membutuhkan komitmen moral, kemampuan dan integritas dari Advokat yang menjamin tersebut.

Penulis ingat, dalam RDPU di Komisi III 6 Mei 2025 lalu Dr. HM Nasir Djamil, M.Si mengatakan, faktanya ada inferioritas, semua baru terbuka saat persidangan, sementara sebelumnya tertutup/tersembunyi, padahal Advokat dalam UU-nya diberi hak untuk “mengakses proses hukum yang tertutup” tapi faktanya tidak bisa, apa yang sebenarnya terjadi dilapangan?

Sayangnya, penulis merasa ada perbedaan pola yang disampaikan beliau dalam rekaman keynote speech-nya, sebab bersamaan dengan serah-terima DIM RUU KUHAP dari Pemerintah yang seharusnya dijadualkan sehari sebelumnya namun mundur ke hari yang sama dengan diskusi publik ini.

Khusus mengenai Advokat, dalam pengantarnya dikatakan bahwa Advokat tidak hanya mendampingi namun sudah harus ada sejak penyidikan, aktif membantu terdakwa untuk pembelaan, tentu kalimat ini berkaitan ketika seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam penyidikan dan terdakwa dalam persidangan. Juga mendampingi saksi dan korban, dalam konteks ini tentu tidak akan keluar dari rangkaian pernyataan sebelumnya, yaitu pada saat proses penyidikan.

Dalam logika terbatas penulis, dalam konteks ini kita harus kembali kepada alasan kenapa Advokat harus berperan dalam HAP sehingga harus mempunyai peran yang berimbang.

Oleh karenanya kita harus kembali pada pemaknaan asal Advokat sebagai partikelir, yang dalam tata-negara berarti “orang yang menjalankan tugas negara tanpa diikat dengan kedinasan”. Kata patikelir ini mempunyai pengertian yang serupa dengan in a paticular purpose (untuk tujuan tertentu), atau Ad-Hoc.

Penulis masih sangat meyakini bahwa Pidana itu sulit, oleh karenanya dikenal in criminalibus probantiones bedent esse lura clariores (dalam perkara pidana bukti-bukti itu harus lebih terang daripada cahaya), sebab bukti-bukti inilah yang harus meyakinkan hakim, bukan argumen, persepsi, asumsi atau intepretasinya.

Jika masih saja asumtif maka artinya ada rumusan yang ingin ditafsirkan, bahkan disesuaikan dengan kepentingan sektoral, sementara jelas ada asas lex certa dan lex scripta. Dan, jika memang dirasa masih perlu perluasan penafsiran yang sekiranya dapat atau tidak dapat diterapkan maka mestinya dapat menjadi masukan untuk judicial review, apakah di MA atau MK, bukan di pengadilan. Bukan dengan membuat aturan sektoral untuk lepas dari jerat acara pidana.

Seringkali, penegak hukum beralasan bahwa apa yang dilakukan adalah karena tugas dengan paradigma crime control system secara sektoral, padahal dalam penerapannya tugas itu mempunyai aturan main dan batasan yang sayangnya seringkali diabaikan, bukan karena pengetahuannya, tapi justeru karena memang tidak tau dan asal tegas saja.

Seringkali, pembuktian dan argumentasi APH hanya untuk memenuhi unsur tuduhan, padahal, prinsip “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, inheren dengan konsep lex certa dan lex scripta, pasti dan tertulis, tidak ada lain-lain tafsir.

Jelas bahwa tidak ada kejahatan jika tidak ada hukum pidana yang mengatur, prakteknya, tafsiran perseptual atas suatu fakta itulah yang mengarahkan suatu peristiwa kedalam rangkaian peristiwa pidana agar tampak logis. Artinya, memang APH kebanyakan memang sudah terbiasa dengan semangat menghukum.

Sementara kita tahu bahwa hukum itu untuk manusia, bukan sebaliknya, manusia untuk hukum. Hukum pidana yang mengatur, bukan tafsiran perseptual yang mengarahkan.

Acontrary – meminjam paradigma pikir APH maka sudah terjadi split opinion dimana keraguan tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut orang lain, apalagi orang tidak dapat meminta bantuan atau menggunakan hukum jika dia sendiri menentang hukum, akar yang sama dengan examina sed legem viola (memeriksa tapi melanggar hukum). Dan, semua ini akan selalu berujung pada putusan yang contra legem (memutus tapi melawan hukum).

Ringkas saja, secara doktrinal maka putusan harusnya in dubio pro reo, prinsip hukum yang zakelijk berarti “dalam keraguan, demi terdakwa”. 

Jika masih saja ada tafsiran artinya rumusan aturan pidana kita itulah yang bermasalah dan tidak jelas sampai harus ditafsirkan, bukti-bukti itulah yang harus meyakinkan pemutus perkara, bukan argumentasi dibalik seragam APH dan tugasnya. Apalagi tugas APH adalah menyelidik, menyidik, memeriksa hingga menuntut, bukan untuk memastikan bahwa seseorang itu harus dihukum.

Ada penafsiran, ada arahan, ada persepsi, ada yang belum jelas dan tegas, artinya ada yang meragukan hingga harus diyakinkan. Ini menterjemahkan kepentingan dari asas “dalam keraguan, demi terdakwa”.

Diluar, masyarakat sipil adalah orang bebas, namun, proses penyelidikan bisa jatuh menjadi sebuah proses membentuk orang menjadi subjek hukum, dimana seseorang dijadikan subjek hukum dengan tujuan agar ada orang yang bisa dihukum. 

Pra-ajudikasi inilah proses pentingnya, dan disitulah judicial scrutiny harus ada terjadi dengan ketat dan profesional. Bagaimana perlakuannya, cara memperoleh buktinya, bentuk pertanyaannya, bentuk perlakuannya, cara memeriksanya dst.

Logikanya, warga sipil yang tadinya bebas dalam proses ini ditekan, diarahkan, ditahan, dipaksa, merasakan tekanan hukum jadi buat apa diadili lalu divonis, sementara dalam proses pemeriksaan itu sudah ada justifikasi, terbatasi dan dihukum? Ini sacrificium vir oleh subjek yang merasa berkedudukan sebagai homo sacer.

Inilah yang harus dibatasi, dan prinsip UU adalah memang untuk membatasi absolutisme, pedoman agar tidak melampaui batas, sayangnya, batas itu disamarkan melalui peraturan internal, by institution. Diferensiasi fungsional harus tegas dirumuskan agar terjadi distribusi pengawasan yang baik dan benar sebagai penjaga HAM masyarakat sipil.

Dari sini sudah banyak asas mendasar yang seringkali tidak dipahami dengan baik oleh APH, untuk mencapai fairness. Bahwa, pada dasarnya seseorang sudah menjadi terduga peristiwa pidana semenjak adanya laporan/aduan, sehingga mestinya warga yang berpotensi menjadi subjek hukum sudah harus mendapatkan pendampingan dari penasehat hukum, sejak awal, bukan lagi seperti KUHAP saat ini yang seringkali terlambat, yaitu ketika status sudah ditersangkakan.

Iftitah dan Vidya mengatakan bahwa memang ada beberapa bundel DIM RUU KUHAP yang di klaim resmi dari Pemerintah sebagai transparansi publik yang sudah di upload, namun selain ternyata tidak dapat di download juga DIM yang diterima belum valid, dikatakan juga oleh YM Prim Haryadi bahwa memang sudah ada DIM resmi sendiri yang sebetulnya sudah disiapkan oleh DPR-RI.

1 (satu) kejahatan mungkin merugikan orang banyak, tapi 1 (satu) abuse of power lah yang mengancam setiap warga sipil.

*Adv. Agung Pramono, SH, CIL

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024