Ternyata di dunia hukum ada lagi yang menarik selain Cicero, sebentar, saya buka artikel ini dengan sedikit ulasan tentang satu nama lain, Shakespeare.
“Pengacara, pembohong!” stigma yang sering kita dengar dari banyak orang, ketika perbincangan menyentuh entitas profesional ini. Sentimen negatif yang sudah lama melekat dan menular, dari rasa iri karena perbedaan kelas atau dari klien yang tidak puas. Para pengacara secara universal tidak dihormati, bahkan oleh mereka yang paling mengenal dan membutuhkan pengacara.
Orang pasti sulit untuk memercayai atau menghormati pembohong – terutama orang yang suka menyembunyikan kebohongan yang menjanjikan perlindungan, menyamarkan motif, atau menguraikan retorika, bermain kata. Suka atau tidak, bagi kebanyakan orang, pengacara hanya membangun bisnis berbohong, gelar mereka merupakan izin, pembenaran untuk berbohong dan mencuri.
Padahal, penyebab sebenarnya adalah sistem hukum itu sendiri melalui “metode bermusuhan”, menempatkan Advokat sebagai pembela penjahat. Seragam dan jabatan institusional adalah hegemoni untuk menanam fitnah dan fallacy secara legal diakui atas nama negara.
Sastra Dalam DNA Advokat
Penggunaan hukum dan istilah-istilah hukum yang sering disampaikan Shakespeare dalam dramanya mengalir dengan baik. Untuk membongkar suatu naskah drama, kita tidak hanya harus memeriksa seberapa akurat istilah-istilah hukum digunakan dalam drama tersebut, tetapi juga seberapa akurat dan mendalam isu-isu hukum dikembangkan.
Seseorang yang tidak berwawasan hukum dapat berbicara dengan pengacara untuk memastikan tidak ada kesalahannya dengan jerat hukum. Namun menulis drama yang seluruh plotnya penuh dengan isu-isu hukum yang rumit dan tidak terasa adalah persoalan lain yang melibatkan cara berpikir yang tidak biasa, dan keahlian diluar sastra.
Suatu malam, para ahli hukum dan Shakespeare berkumpul di hadapan para hadirin di City Bar Association di Manhattan untuk menyampaikan argumen-argumen yang mendukung permohonan banding Elsinore: Rakyat vs Hamlet.
Komite Bar memilih Shakespeare sebagai hiburan, seperti tradisi normal sekali. Sebuah gerakan yang dikenal sebagai hukum dan sastra memiliki pengikut di akademisi hukum, para pendukungnya mempelajari bagaimana pengacara pengadilan menggunakan teknik sastra seperti membangun plot, narasi dan karakter untuk mempresentasikan kasus, seperti halnya para penulis yang menggunakan sengketa hukum untuk mendorong fiksi mereka.
Tidak salah jika kita simpulkan bahwa penonton Shakespeare yang paling antusias adalah para ahli hukum, perguruan tinggi hukum, dan kelompok pengacara, yang meminta para mahasiswa untuk mementaskan drama Shakespeare untuk mereka.
Hamlet Adalah Dunia Hukum
Seringkali, orang kurang memperhatikan Babak IV, Adegan 3 dari Henry VI, Bagian 2 atau memang tidak mengenal Hamlet, tentang perencanaan revolusi jahat, pengambilalihan kekuasaan oleh Cades dan rekannya, Dick the Butcher (penjagal), keserakahan mereka.
Dick, yang mengakui adanya satu kelompok orang yang mungkin dapat menyelamatkan harta benda dan hak warga negara, mengatakan, “Hal pertama yang kita lakukan, mari kita bunuh semua pengacara.” Artinya, pengacara adalah lawan dari penguasa lalim.
Rangkaian kalimat tersebut diucapkan oleh para konspirator dalam Pemberontakan Cade, yang berencana menggulingkan pemerintah Inggris, menghancurkan hak-hak kuno laki-laki dan perempuan Inggris dan membangun elemen diktator secara virtual, atau terang-terangan. Namun upayanya digagalkan, dan sang pahlawan Henry VI, tetap berkuasa.
Melalui ancaman para pemberontak, Shakespeare mengingatkan bahwa pengacara, sebagai pelindung sistem kebebasan yang tertata, merupakan penghalang bagi pemberontakan yang akan membatasi kebebasan seperti halnya benteng yang ditempatkan di benteng mana pun. Jadi, jalan Cade menuju penindasan pasti mengarah pada tubuh mereka…. [John J. Curtin, Jr., Esq., Presiden, American Bar Association, diterbitkan di Jurnal ABA, September 1990]
Dalam konteks bersejarah ini, pengacara dianggap melindungi kelompok yang memiliki hak istimewa (privillege) dan korup, sebagai bagian dari perlawanan terhadap perubahan sosial dan keadilan yang diperlukan. Sama sekali bukan pendapat Shakespeare yang mengesankan adanya sentimen negatif terhadap pengacara.
Akhirnya, Hamlet menyadari bahwa terdapat kesalahan terbesar yang dilakukan oleh Claudius yang merupakan perampas kekuasaan, harusnya mengakui sejak awal bahwa “dia membutuhkan nasihat hukum.”
Pada dasarnya Shaekspeare memuji peran pengacara dan hakim dengan menegaskan peran mereka sebagai kunci perdamaian sipil. Dan The Merchant of Venice menampilkan seorang pengcara sebagai penyelamat kekacauan yang merupakan komedi Shakespeare.
Advokasi Shakespeare
Pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang skeptis seperti Mark Twain, Walt Whitman, Henry James, John Galsworthy, dan Sigmund Freud masih menggugah minat orang-orang maverick yang yakin bahwa William Shakespeare adalah nama samaran untuk orang yang sangat terpelajar dan berasal dari kalangan bangsawan yang dekat dengan takhta Inggris. [Justice John Paul Stevens, Abridged from “The Shakespeare Canon of Statutory Construction” University of Pennsylvania Law Review (v.140: no. 4, April 1992), https://shakespeareoxfordfellowship.org/canon-statutory-construction/, diakses: Jum’at, 2 Februari 2024, 21.30 WIB]
Edmund Malone, editor awal Shakespeare yang juga seorang pengacara di tahun 1778, mengatakan hal itu. Pengetahuannya [Shakespeare] dan penerapan istilah-istilah hukum, bagi saya tampaknya tidak hanya diperoleh melalui pengamatan biasa atas pikirannya yang memahami segalanya; ia tampak memiliki keterampilan teknis; dan dia begitu gemar menampilkannya di segala kesempatan, sehingga, menurut saya, ada alasan untuk berasumsi bahwa dia sudah diinisiasi sejak awal, paling tidak dalam bentuk hukum. [Edmund Malone, The Life of William Shakespeare, di II, 107-09, dikutip dalam Alexander, Bad Law, supra note 219, di 13]
Senator CK Davis pada tahun 1883 terhadap karya Shakespeare mencatat bahwa “pembelajaran hukum ini secara akurat dipertahankan dalam banyak bagian dengan penerapan kumulatif dan progresif.” [CK Davis, Hukum dalam Shakespeare 16 (1883)]
Pantas saja para pengacara mengagumi Shakespeare sebab dialognya lebih banyak membahas tentang hukum dibandingkan profesi lainnya. Bahkan beberapa orang berpendapat bahwa pengetahuannya tentang hukum begitu rinci sehingga menduga bahwa Shakespeare sebenarnya adalah seorang pengacara.
Scott Dodson dan Ami Dodson melakukan sebuah studi tentang penulis mana yang sering dijadikan referensi oleh Hakim dan praktisi hukum yang pokok pikirannya dikutip untuk mendapatkan kesan bijaksana. William Shakespeare menduduki puncak daftar yang paling sering dikutip, bersama dengan Lewis Carroll. Keduanya memperoleh enam belas referensi dari lima hakim. Penulis populer lainnya adalah George Orwell, Charles Dickens, Aldous Huxley dan Aesop.
Dalam Babak 1, Adegan 5, Hamlet memberitahu Horatio bahwa, “ada lebih banyak hal di Surga dan Bumi… daripada yang diimpikan dalam filosofi anda.” Akhirnya, kisah Hamlet dapat menjadi sebuah peringatan yang mana faktor penting untuk menjadi pengacara hebat tidak terletak pada seberapa menarik, pintar atau fasihnya kita dalam bidang hukum, akan tetapi pada kemampuan kita untuk mengungkap apa yang lepas dari perhatian.
Evolusi Advokat
Diruang-ruang kantor Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia, saat ini, kekesalan bung Karno atas penolakan juristen (manusia hukum/Advokat) atas ajakan revolusinya mulai tertata, kelihatan bentuknya, terasa hasilnya. AdvoKAI pelan tapi pasti meluruskan dan membenahi pandangan bung Karno, bukan menolak.
Teknologi dalam revolusinya sedang mencari bentuknya, ia memberontak terhadap tatanan dunia, seperti David si Penjagal yang ingin menghabisi Advokat, “kill all the Lawyers!”, lebih ektrem ketimbang bung Karno yang mendapatkan ide dari Liebknecht.
“… a revolution rejects yesterday ….amat sulitlah yang demikian itu,” ucap Bung Karno dalam pidatonya di Kongres I Persahi. Ada benarnya, tapi Advokat sejak dulu tahu bahwa revolusi akan mencerabut akar pohon secara paksa, disrupsi, dan benar saja, begitulah cara kerja teknologi, hari-hari kemarin harus menjadi database dengan struktur yang tidak terputus sebagai bahan dasar yang utama dalam proyek digitalisasi, bahkan programmer memerlukan penyesuaian bahasa programnya dan harus memahami perilaku hukum dan advokasi dalam proses konversinya, ini sulit tapi tidak mustahil, harus ada dalam memori perangkat programming sebagai legal analytics, evolusi yang matang.
Shakespeare dalam Hamlet memahami itu, dia paham betul tentang hukum dan Advokat dengan mengatakan, seolah ingin menyampaikan pada masa depan bahwa, “kalian keliru, Advokat ada untuk mengatasi kesesatan perilaku kepemerintahan agar reda juga emosi pemberontak seperti kalian. Tapi, dapat dipertimbangkan bahwa Advokat bakal bersepakat dengan pemberontak jika jika bertujuan menekan arogansi penguasa, ini entitas kritis yang perlu dimusuhi bukan malah memusuhi pemerintahan yang sah.”
Evolusi Advokat yang sejak dulu ditunggu sang Bung sekarang bakal… bahkan sedang menikmati bercangkir kopi bersama dengan revolusi industri, dengan teknologi sebagai produknya, bahasa program yang memadukan dunia hukum menjadi sastra mutakhir, pada sebuah ruang yang sejuk dan asri, bahkan telur tata-negara yang dulu masih mengeram belum siap tapi sekarang sudah menetas, sudah waktunya.
Advokat, Cicero… (r)evolusi, Shakespeare. Ah, saya harus bersulang secangkir kopi dengan Presiden KAI Tjoe, Sekretaris Umum Bram dan VP Pheo Hutabarat soal ini, disela ceria dan keusilan di ruang keluarga House of IndoLaw.
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL.