Ketika seorang individu diduga pelaku tindak pidana, maka individu tersebut pada hakikatnya berhadapan dengan negara, inilah konsekuensi nilai-nilai bureaucratic model dalam sistem peradilan pidana, sehingga harus dipisahkan antara organ negara dengan warga negara secara pribadi.
Dalam kerangka hukum pidana harus dipahami bahwa negara – dalam hal ini pemerintah – boleh menindak individu yang diduga melakukan suatu tindak pidana namun dibatasi oleh ketentuan undang-undang.
Pipit R. Kartawidjaja mengatakan bahwa telah terjadi kekeliruan dalam menterjemahkan makna pemerintah sebagai negara, implikasinya setiap tugas pemerintah dianggap atas nama negara, ini rentan menjadi embrio kesewenangan fungsional.
Pemerintah tidak boleh ikut masuk ke ranah hukum dalam hal hukuman dan membebaskan selain dimaknai sebagai intrusi, Mahfud MD menjelaskan putusan hakim atas kasus korupsi maupun kasus lainnya merupakan proses ketatanegaraan yang harus dihormati.
Issue kode etik hakikatnya erat dengan watak individu secara umum, seringkali yang bermasalah adalah mereka yang belum berhasil berdamai dengan wataknya untuk menjadi officium nobilium, lebih kepada kebiasaan yang menjadi perilaku (een doen of een nalaten).
Mantan Ketua MA Prof Bagir Manan mengingatkan bahwa lembaga peradilan pun harus melakukan refleksi, “Pelecehan (pengadilan) itu bukan sebagai sebab, tapi semata-mata sebagai akibat (effect). Karena pengadilan dinilai tidak menjadi tempat menerapkan hukum secara tepat dan benar”.
Bagir Manan tidak hanya menyebut pengadilan secara spesifik akan tetapi juga lembaga peradilan, yaitu lembaga/institusi yang berkaitan dengan proses peradilan sejak hulu hingga hilir.
OVER SPANNING, KEBABLASAN
Belum lama ini, kita dibuat kecewa dengan berita Tenaga Ahli Walbertus Natalius Wisang ditangkap setelah bersaksi dalam kasus BTS 4G Bakti Kominfo, terkait dugaan merintangi penyidikan karena mencabut BAP dan memberikan keterangan palsu di persidangan.
Jika menyimak pasal 163 KUHAP seharusnya tidak ada ancaman sanksi pidana bagi saksi yang mencabut atau berbeda keterangannya dengan yang di BAP, dan KUHAP hanya memerintahkan kepada Hakim untuk mengingatkan dan meminta penjelasan atas apa yang menjadi penyebabnya.
Jika keterangannya dicabut maka berlaku pasal 185 ayat (1) KUHAP lalu keterangan saksi pada BAP yang dibuat penyidik menjadi alat bukti petunjuk.
Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 memperluas makna saksi yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri atau, dapat juga diajukan saksi verbalisan.
Secara implisit atas Pasal 174 KUH Acara dapat digunakan untuk pengendalian persidangan, secara teknis panitera membuat BAP sidang yang memuat peristiwa hukum di ruang sidang tersebut dengan menyebutkan alasan persangkaan, dan ditandatangani oleh Hakim ketua sidang, serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut UU atau yang dipersamakan dengan itu.
Dalam hal-hal tertentu, jika perlu Hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana yang berkaitan dengan benar atau tidaknya keterangan saksi itu selesai.
Hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa, dapat memberikan perintah supaya seseorang itu ditahan dan/atau untuk selanjutnya diberikan sanksi, bukan atas inisiatif lembaga/institusi lain.
Penegak hukum tidak dimungkinkan mengambil alih kewenangan atau perintah Pengadilan in casu Hakim sebagaimana pasal 174 KUHAP, tidak ada tafsiran lain.
Apalagi jelas dalam Pasal 26 UU No. 31/1999 Tentang PTPK menyatakan berlakunya KUHAP dan tidak ada perintah khusus dari UU.
Perhatikan juga pasal 21 UU No. 31/1999 Tentang PTPK berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara dst…”
Pasal itu mensyaratkan 2 (dua) subjek “tersangka dan terdakwa” secara kumulatif dengan penghubung “dan”, artinya tidak ada pilihan, maka jika hanya terhadap salah satunya saja maka unsur mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak terpenuhi.
Namun, Putusan MK No. 52/PUU-XVI/2018 poin [3.13.3] akan menjadi polemik tersendiri, berbunyi “…untuk menilai iktikad baik yang berhubungan dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh Advokat tentunya bukan lagi menjadi wilayah kewenangan DKOA tetapi menjadi kewenangan penegak hukum dalam kasus konkret yang dihadapi oleh seorang advokat, baik perbuatan pidana maupun perdata.” [vide hlm. 72]
ITIKAD TIDAK BAIK BUKAN UNSUR PIDANA
Dalam hukum dikenal termonilogi te kwader trouw, maknanya mengetahui bahwa tidak ada kebenaran maupun kebaikannya namun tetap dipertahankan, serupa dengan penerapan dari itikad tidak baik.
Menariknya, menurut Munir Fuady itikad tidak baik masuk dalam kategori tindakan ilegal yang didefinisikan sebagai tindakan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum pencipta atau melanggar hak orang lain yang mana menurut ajaran peraturan perundang-undangan hal ini termasuk perbuatan melawan hukum dalam ranah kesalahan perdata (tindakan sipil) yang dapat dimintakan ganti rugi, sebab berkaitan dengan “kewajiban keadilan.”
Pendapat tersebut diafirmasi oleh Presiden dalam penjelasannya pada huruf b dalam sidang Pengujian UU di Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XVI/2018, bahwa “itikad baik” bukan merupakan bagian dari unsur pidana sehingga penilaian “itikad baik” tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk seseorang dituntut secara pidana. [hlm. 51]
Demikian juga dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi dalam perkara yang sama menafsirkan pada angka [3.12] bahwa adapun dalam konteks hukum pidana, “itikad baik” secara universal bukanlah suatu unsur delik yang dikenal dalam tindak pidana. [hlm. 69]
Dapat dipahami pendapat Munir Fuady bahwa Advokat bukan “alter ego” dari klien sehingga dapat mendahulukan hal yang lebih penting ketimbang melindungi rahasia klien, bahkan sistem peradilan pidana “adversary” di Indonesia tidak hanya berlaku “accusatorial” (berpihak kepada klien), tetapi juga “inquisitorial” (berpihak pada keadilan).
Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang melindungi Advokat secara konstitusional, antara lain:
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 poin [3.21] halaman 65 berbunyi, Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XVI/2018 poin [3.10.2] halaman 22 yang menyatakan sifat berlaku umum dari norma dalam Pasal 21 UU PTPK tersebut yang berlaku bagi siapa saja, termasuk Advokat.
MELURUSKAN PERAN DAN FUNGSI
Pledooi pasti berlawanan dengan tugas penegak hukum, dia memang dapat “mencegah, merintangi atau bahkan mengagalkan secara langsung proses peradilan, untuk mempengaruhi semua yang ada dalam persidangan dengan atau tanpa imbalan”, acontrary, ia juga merupakan tuntutan terhadap pemerintah yang diajukan kepada Hakim untuk tidak menghukum klien selaku warga negara, pembelaan tidak boleh dihalang-halangi sebagai bagian dari proses peradilan sebab dibenarkan hukum, demikian juga dengan klemensi.
Artinya, dalam sistem peradilan pidana para penegak hukum dengan Advokat mempunyai kewenangan yang sama terhadap objek, subjek dan perkara namun dengan sudut pandang yang berbeda.
Dalam tulisan yang lain penulis menyampaikan keterkaitan antar UU Kejaksaan, Kepolisian, Advokat bahkan Pers yang disebut sebagai pilar ke-4, dan menurut penulis peran dan fungsi aktivitas ini memang mandiri tapi tetap tidak boleh berdiri sendiri dan relatif dapat menilai hanya dengan sudut pandang sendiri.
Malahan, pers punya sifat tersendiri, ada trial by the press, atau netizen melalui media sosialnya dengan mudah dan massive mempengaruhi hukum dengan caranya sendiri, vigilante, bahkan lahir adagium atau maxim hukum baru yaitu “no viral no justice.”
Secara sistematis berkaitan dengan UU No. 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tiap fungsionaris kekuasaan kehakiman sudah seharusnya berkoordinasi sebab UU Kehakiman sudah mendudukkan aktivitas dan subjek itu pada tempatnya di ranah Yudikatif.
Siracuse Principles 1981 secara eksplisit menyebut suatu peradilan “independen dari pengaruh eksekutif dan legislatif” yang mempunyai yurisdiksi terhadap semua hal yang berkaitan dengan hal-hal di bidang peradilan.
Herbert L. Packer mengatakan bahwa sanksi pidana seringkali ceroboh menggeneralisir secara paksa dan menjadi menjadi suatu “pengancam yang utama”, dan diskresi penegak hukum bermutasi menjadi penguasa atas penerapan aturannya.
Penganut positivis dan legalistik membuat cara berhukum lebih cenderung pada bagaimana menerapkan undang-undang (alles binnen de kader van de wet) atau mengeja undang-undang, tidak mau berpikir jauh kecuali membaca teks dan logika penerapannya, tidak mau tahu.
Lagipula, terminologi “penegak hukum” umumnya muncul dari ranah kepemerintahan ataupun ataupun politik, sedangkan secara khusus dalam ranah Yudikatif disebut mempunyai fungsi kekuasaan kehakiman, artinya subjek yang dimaksud adalah fungsionaris kekuasaan kehakiman.
Dalam ranah Yudikatif, peradilan punya rumah tangga dan etika sendiri yang mengatur, disini Advokat bertindak sebagai pengemban hukum (rechtsbeoefening).
*Adv. Agung Pramono, SH., CIL.