Saat ini, politik sedang mengajukan topik perdebatan tentang perilaku etik, padahal banyak dalam politik dan science masalah etika selalu lapuk oleh kepentingan, negara menjadi objek penderita dengan asupan ideologi melalui metode yang tidak jelas sehingga menjadi anomali di tubuh rakyat.
Intinya, dalam sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh Indonesia, Presiden memiliki kekuasaan legislasi untuk dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada lembaga legislatif. Kekuasaan legislasi rumpun eksekutif itu terselenggara oleh banyak faktor mulai dari model legislasi hingga sistem kepartaian yang berjalan di Indonesia.
Ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUD 1945 merupakan wujud nyata dari dinamika instabilitas antar model legislasi presidensial dengan model legislasi parlementer, tarik-ulur.
Pola hubungan dalam pelaksanaan fungsi legislasi seperti yang dijalankan oleh Indonesia memposisikan dua cabang kekuasaan, yaitu eksekutif dan legislatif saling bergantung satu sama lain atau a system of mutual dependence. [Stepen & Skach, 1994; lihat https://rechtsvinding.bphn.go.id/media.php?page=artikel&berita=700 diakses tanggal 13042024 pukul 23.56 WIB]
Dalam praktiknya dimanapun di berbagai negara, biasa terjadi hal dimana sebagian besar rancangan undang-undang memang selalu datang dari pemerintah.
Berhubungan dengan hal-hal itulah maka dalam perkembangan praktik, selalu terjadi bahwa rancangan undang-undang yang diajukan Presiden lebih banyak dibandingkan dengan yang dirancang Dewan sendiri.
Kekuasaan eksekutif merupakan rumpun kekuasaan yang memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi dibandingkan rumpun kekuasaan legislatif dan yudikatif. Kemampuan kekuasaan eksekutif yang diberikan melalui konstitusi maupun sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara menjadi latar belakang kerentanan tersebut. Kekuasaan yang dimiliki oleh kekuasaan eksekutif begitu besar sehingga mampu mempengaruhi cabang kekuasaan lain, yaitu legislatif dan yudikatif. [Levistsky & Ziblatt, 2021; lihat: idem]
Ini hanya masalah ketidakpuasan pemain dimana semuanya berkontribusi dan melanggar, dan faktanya, kita sendiri dapat melihat bagaimana kontroversi justeru muncul sebab pelaksanaan mekanisme politik kepartaian, terutama dalam hal sebrang-pindah keanggotaan, perekrutan hingga bursa pencalonan. Disinilah sebenarnya kelabilan itu bersumber, ia adalah pusat gempa sekaligus musuh dalam selimut dari boneka yang dibuatnya sendiri, padahal ia adalah konsekuensi logis politik.
Dengan kata lain, logika sistem kepartaian di Indonesia turut menjadi faktor besarnya kekuasaan legislasi yang dimiliki oleh rumpun eksekutif, dan sebaliknya kendali kepentingan atas peran legislatif.
Secara materiil, apa yang penulis perhatikan adalah bahwa, pertama, dalam dalil-dalil permohonan lebih banyak menguraikan argumentasi impeachment ketimbang PHPU, kedua, aegumentasi juga dominan terhadap pada produk dan perilaku KPU, ketiga, kalaupun ada pelanggaran yang terjadi dan dinilai masuk dalam kategori terstruktur, sistematis dan massive tidak dilakukan oleh salah satu peserta, dan keempat, berdasarkan doktrin hukum yang ada maka dari sekian kelemahan permohonan maka putusan sudah semestinya menguntungkan bagi pihak yang dianggap menerima manfaat, dan sebagai legitimasi hukum untuk menyelesaikan konflik politik.
Disisi lain, demokrasi adalah mengenai kewenangan mayoritas untuk membentuk peraturan perundang-undangan, sedangkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada prinsipnya ada The Guardian of The Constitution, artinya MK harus berperan untuk melindungi rakyat dalam konteks konstitusi, sehingga harus dibedakan dengan sistem demokrasi sebab alam konstitusi adalah hak daripada res publika, sehingga dalam perkara ini maka MK harus menjalankan fungsi kenegarawanan dalam ranah republikan, memegang amanat minoritas yang terbelenggu oleh UU bentukan mayoritas, dan harus melindungi minoritas dengan kekuatan konstitusi.
Pendapat penulis tersebut juga terafirmasi melalui pendapat yang disepakati oleh MK yang terjabar dalam uraiannya bahwa “keadilan substantif merupakan wujud keadilan hakiki adalah keadilan yang dirasakan masyarakat sebagai keadilan yang sesungguhnya. Keadilan ini terjelma dalam rasa keadilan yang diakui dan hidup dalam masyarakat. Keadilan substansial bukan hanya milik mayoritas, melainkan juga mencerminkan perlindungan minoritas.” [Mahkamah Konstitusi, Mengawal Demokrasi Menegakkan Keadilan Substantif : Laporan Tahunan MKRI Tahun 2009, Setjen dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2009, hlm. 10]
Linear dengan pendapat Jimly Assiddiqie tentang tugas pokok yang diemban oleh MK [Jimly Assiddiqie, Model-Model Pengajuan Konstitusional di Berbagai Negara, Cetakan ke 2, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 10] diantaranya adalah menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbang peran (interplay) antara cabang kekuasaan legislative, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary), dan melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan warganegara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin oleh konstitusi.
Bahkan, Mahfud MD mengingatkan bahwa dalam melaksanakan kewenangannya MK memiliki rambu-rambu yang harus ditaati dalam acara fit and proper testCalon Hakim Konstitusi di DPR, dalam konteks ini antara lain: [Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Perdebatan Isu, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 278]
- Dalam membuat putusan, MK tidak boleh mencampuri masalah yang didelegasikan oleh UUD kepada lembaga legislatif untuk mengaturnya dengan UU sesuai dengan pilihan politiknya sendiri;
- Hakim MK tidak boleh secara proaktif menawarkan diri sebagai penengah dalam silang sengketa politik antar lembaga Negara atau antar lembaga-lembaga politik; dan
- MK hanya wajib melaksanakan atau mengawal UUD yang sudah ada dan berlaku, sedangkan urusan mempertahankan atau mengubah adalah urusan lembaga lain yang berwenang.
Pertimbangan Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 MK menyatakan mengenai hak-hak warga negara untuk memilih telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara (constitutional rights of citizen) sehingga oleh karenanya hak konstitusional tersebut tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun, dalam hal ini mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. MK menilai bahwa ketentuan yang mengharuskan seorang warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam DPT adalah lebih merupakan prosedur adminitratif semata dan karenanya pula tidak boleh hal administratis tersebut menafikan hal-hal yang bersifat subtansial.
Sehingga, dalam hal ini juga menegaskan bahwa MK bukan merupakan Mahkamah Kalkulator sebagai konsekuensinya adalah dapat juga mengabaikan administrasi dan perhitungan yang berlaku formal sebab hal-hal yang bersifat substansial tidak hanya ditentukan dari catatan dan dokumen belaka.
Logis, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, secara umum MK memiliki fungsi konstitusional yaitu fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi MK secara spesifik dapat ditelusuri dari latar belakang pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Maka dari itu, ukuran dari keadilan dan hukum yang ditegakkan di dalam peradilan MK adalah konstitusi itu sendiri, tidak dapat dimaknai tidak sekadar sebagai sekumpulan norma dasar saja, melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain yaitu, prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak konstitusional warga negara. [Khelda Ayunita, Pengantar Hukum Konstitusi dan Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media, 2017), hlm. 86]
Secara konkrit, rule breaking tampak dalam Putusan MK No. 47-81/PHPU.A-VII/2009 yang berkesimpulan bahwa pelaksanaan Pemilu di Kabupaten Yahokimo umumnya tidak dilaksanakan dengan pencontrengan surat suara. Penentuan suara hanya dilakukan dengan “kesepakatan warga” atau “aklamasi” akan tetapi MK berpendapat pemilihan umum dengan “kesepakatan warga” atau “aklamasi” tersebut merupakan model pemilihan yang sesuai dengan kebudayaan dan adat setempat yang harus dipahami dan dihormati. [Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature, Konstitusi Press, Juli 2013, Kata Pengantar, hal. 166]
Konstruksi rule breaking tersebut, selain didasarkanpada kebutuhan masyarakat akankeadilan substantif, juga karenasesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat(1) UU No. 48 Tahun 2009, hakimwajib menggali, mengikuti, danmemahami nilai-nilai hukum yanghidup dalam masyarakat.
Ini bukanlah jalan tengah melainkan pendirian dari MK selaku Negarawan yang melaksanakan prinsip Judicial Restraint, prinsip ke-Indonesia-an yang enggan mengabaikan masalah konkrit dengan keras akan tetapi berpegang pada kebijakan untuk tidak mengikuti alur permainan, penetrasi, intervensi dan intrusi politik namun membawanya pada alam hukum yakni keadilan, kepastian dan kemanfataan secara anggun sebagai negarawan yang berkelas sehingga melepaskan diri dari politik praktis yang penuh intrik.
Mengacu pada pendapat para pakar tata-negara dan konstitusi kita di atas penulis enggan menelan mentah pendapat dua profesor Harvard di bidang politik dan pemerintah, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, tentang bagaimana demokrasi itu mati, sebab politik akan selalu mengubah definisi krisis, bahkan sebetulnya demokrasi tidak akan pernah mati selain hanya berubah karakter sebab intrik.
Dalam konteks yang sama konsepsi republik harus melindungi rakyat dari konsekuensi demokrasi dimana para pihak yang berpesta dapat bertingkah diluar batas dan bertumbukan. Apalagi jika karakter demokrasi terjerumus dalam desain Orwellian dengan pola bullying, witch-hunt dan vigillante.
Dengan kata lain, kewenangan MK bilamana terjadi Judicialization of Politics adalah dengan menjalankan praktek Judicial Restraint, dimana mau tidak mau MK dapat menjalankan kewenangan politiknya berdasarkan materi perkara yang diajukan oleh lembaga politik atau dalil-dalil politis yang menjadikan MK dipaksa oleh sistematika praksis untuk bertransformasi sebagai institusi pengendali politik atau sebagai lembaga politik interim yang menetapkan hasil dari permainan yang telah diselesaikan oleh para pemain.
Kongres Advokat Indonesia sempat menyelesaikan masalah etik bersama Mahkamah Konstitusi, dan ia prinsipnya akan selesai hanya berdasarkan saling pengertian semata. Harapannya, semoga tanggal 22 April 2024 nanti Indonesia akan memperoleh putusan yang dapat menjernihkan situasi politik didalam dan menjelaskan keadaan Indonesia keluar.
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL