Mahfud MD menuliskan dalam bukunya Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu (h. 280) bahwa, negative legislator dapat dimaknai sebagai tindakan Mahkamah Konstitusi yang dapat membatalkan norma dalam judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) atau membiarkan norma yang diberlakukan oleh lembaga legislatif tetap berlaku dengan menggunakan original intent UUD 1945 sebagai tolak ukurnya.
Lebih lanjut Martitah dalam bukunya Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature? (Jakarta, 2013) menyatakan terdapat beberapa pertimbangan bagi Hakim MK dalam mengeluarkan putusan yang bersifat positive legislator antara lain faktor keadilan dan kemanfaatan masyarakat, situasi yang mendesak dan mengisi rechtvacuum untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat.
Jauh sebelumnya Hans Kelsen mengatakan, “pengadilan yang menjalankan kewenangan untuk menguji UU merupakan bentuk nyata penyimpangan atas prinsip pemisahan kekuasaan. Ketika pengadilan menguji UU maka pada dasarnya pengadilan melakukan fungsi legislasi. Pada saat yang sama pengadilan terlibat dalam politik legislasi. [Alec Stone Sweet, The Politics of Constitutional Review ini France and Europe”, Internatonal Journal of Constitution Law, Vol. 5, Issue 1, January 2007, pp. 69-92, page 72]
Sehingga menurut Kelsen mesti dibedakan fungsi legislasi yang dilakukan oleh parlemen dan pengadilan, parlemen membuat hukum sebagai positive legislator sedangkan pengadilan menguji sebagai negative legislator pembatal norma per-UU-an.
Berdasarkan teori tersebut dengan membandingkan terhadap fakta-fakta yang terjadi di masyarakat pada umumnya Ran Hirschl mendefinisikan yudisialisasi politik sebagai “…ketergantungan yang semakin cepat pada pengadilan dan sarana yudisial untuk mengatasi kesulitan moral inti, pertanyaan kebijakan publik, dan kontroversi politik.” [Ran Hirschl, The New Constitution and the Judicialization of Pure Politics Worldwide, Fordham Law Review, Vol. 75, Issue 2, 2006, page 721-754]
Berarti bahwa memang pelibatan MK dalam politik legislasi tidak hanya dalam hal perkara-perkara norma perundang-undangan dan legislasi sehari-hari yang bersifat sederhana, namun warga negara dapat melihat bahwa produk legislasi benar-benar sangat masuk dalam ranah politik yang luar biasa karena yang diadili oleh MK menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia dan melibatkan nasib rakyat kebanyakan.
Salah satu pertimbangan hukum yang digunakan oleh MK dalam mengeluarkan sebuah tafsiran adalah MK tidak boleh membiarkan aturan keadilan prosedural (procedural justice) mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice).
Kenyataan ini sebetulnya menunjukkan animo positif warga negara untuk terlibat dalam proses bernegara dengan mengajukan judicial review ke MK. Meski, disisi lain tersimpul bahwa warga negara tidak sepenuhnya dapat meletakkan kepercayaan pada wakil-wakilnya di parlemen, dan rakyat mulai ingin memahami dengan peraturan perundang-undangan yang membatasi mereka dan bukannya membatasi kekuasaan atas mereka.
Berkaitan dengan kewengan MK tersebut, dalam perkembangannya lahir pengalihan issue atau boleh dikatakan pelimpahan tangung-jawab keputusan politik ke ranah Yudikatif dimana sengketa pemilu dibebankan kepada pengadilan, dalam hal ini MK dengan pintu masuknya adalah norma yang berkaitan dengan pelanggaran pemilu.
Harus dicatat bahwa sebagaimana dikemukakan oleh Alexander Hamilton “the judiciary, from the nature of its function, will always be the least dangerous to the political rights of the constitution.” atau dengan dengan kata lainpengadilan merupakan cabang kekuasaan terlemah dibanding dengan eksekutifdan legislatif. [Alexander Hamilton, Federalist Essay, No. 78, 1788]
Tidak hanya terjadi di Indonesia perkara-perkara sengketa pemilu juga mulai masuk ke dua pengadilan konstitusi paling berpengaruh di dunia yaitu Mahkamah Agung Amerika Serikat, dan Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. [Russel A. Miller, Lords of Democracy: The Judicialization of “Pure Politics” in the United States and Germany, Washington & Lee Law Review, Vol. 587, 2004, h. 599]
Contoh-contoh tersebut menunjukan bahwa penetrasi penyelesaian sengketa pemilu kedalam lingkup kewenangan pengadilan di banyak negara merupakan hal yang lazim saat ini.
Meski penyelesaian sengketa pemilu kepada lembaga peradilan bertujuan untuk menjaga hak-hak asasi warga negara sesuai dengan yang dijamin oleh konstitusi, tapi tidak bisa diabaikan bahwa sengketa pemilu memiliki unsur politis yang kuat, sementara pengadilan harus mampu menjaga independensi dyaan membatasi dirin terhadap perkara-perkara dengan unsur politis yang kuat.
Dengan diberikannya kewenangan bagi pengadilan untuk memutus sengketa pemilu yang merupakan perkara yang memiliki unsur politis tinggi maka dapat dikatakan bahwa hal itu merupakan salah satu bentuk judicialization of politics atau suatu fenomena dimana terjadi perpindahan kewenangan dalam memutus pembuatan kebijakan publik yang bersifat politis dari lembaga politik seperti legislatif maupun eksekutif, kepada lembaga peradilan yang tidak representatif dan tidak akuntabel. [Ibid, h. 595]
Melihat contoh-contoh di berbagai negara maka fenomena judicialization of politics tersebut dapat dikatakan merupakan sesuatu yang lazim dalam suatu negara demokrasi konstitusional, akan tetapi tidak sedikit pula yang bersifat skeptis terhadap fenomena tersebut dan mengkritiknya dikarenakan dengan masuknya perkara-perkara politik tersebut maka pengadilan akan menggunakan pertimbangan politik dalam pengambilan keputusannya, atas dasar itulah Jonghyun Park dalam tulisannya menyatakan bahwa fenomena judicialization of politics dapat menghancurkan nilai-nilai negara hukum (rule of law). [Jonghyun Park, The Judicialization of Politics in Korea, Asian-Pacific Law & Policy Journal, Vol. 10:1, 2008, h. 66]
Masalah-masalah yang secara alamiah merupakan masalah politis dalam judicialization of pure politics tersebut menurut Hirschl termasuk juga masalah-masalah mengenai pemilu (Electoral Matter), menurutnya dengan meluasnya keikutsertaan pengadilan dalam masalah-masalah politik tersebut, maka peran pengadilan akan menjadi krusial, hal inilah menurutnya yang merupakan salah satu bentuk transisi menuju juristokrasi, dan hal itulah yang membuat judicizlization of pure politics menurut Miller menjadi suatu masalah karena merupakan suatu ancaman bagi demokrasi, sebab adalah tidak pantas mengangkat pengadilan sebagai institusi yang tidak representatif dan tidak akuntabel diatas institusi yang representatif dalam pembuatan suatu kebijakan publik yaitu dalam hal ini adalah proses pemilu. [Russel A. Miller, h. 597]
Meskipun Mahkamah dapat melakukan “legislating or governing from the bench” tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional yang cukup (sufficient reason), namun sejarah politik hukum menyepakati bahwa pendapat terakhir yang menyatakan bahwa hak prerogatif merupakan constitutional power presiden untuk mengisi yang tidak diatur secara detail dalam konstitusi merupakan pendapat yang paling kuat, tidak harus tertulis atau dinyatakan dalam teks konstitusi.
Inilah definisi prerogatif yang disampaikan oleh John Locke, yaitu the “power to act according to discretion, for the public good, without the prescription of the Law, and sometimes even against it.” [Clement Fatovic, Blurring The Lines: The Continuities Between Executive Power And Prerogative, Maryland Law Review, Vol. 73 No. 15, 2013, hlm. 15]
Meskipun kita mengenal Bawaslu, Panwaslu dan KPU namun meski putusan mereka final dan mengikat kerap diabaikan karena dianggap tidak sekuat putusan lembaga Yudikatif yaitu MK, [Sidik Pramono (eds.), Penanganan Sengketa Pemilu, Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia, 2011, h. 24] hal ini juga diafirmasi oleh Jimly Asshiddiqie, yang mengatakan bahwa “putusan KPU belum final dan mengikat sampai ada konfirmasi dari MK atau putusan MK, keputusan KPU masih bisa berubah dengan keputusan MK, itulah yang menjadi kewenangan mutlak dari MK.”
Untuk itulah dalam memutus perkara-perkara yang bersifat politis pengadilan harus berpegang pada prinsip judicial restraint, keengganan tau ketidakmampuan pengadilan untuk menghormati prinsip pembatasan diri (judicial restraint) dapat membuat rakyat menganggap pengadilan sebagai partisan lainnya dari pemerintah, yang akhirya menghilangkan citra pengadilan sebagai cabang kekuasaan yang imparsial sekaligus mereduksi kepercayaan rakyat pada pengadilan. [Philip A. Talmadge, Understanding the Limits of Power: Judicial Restrain in General Jurisdiction Court Systems, Seattle University Law Review, Vol. 22:695, 1999, h. 696]
Judicial Restraint dapat menjadi ratio legis bagi pengadilan atas pembatasan kedudukan (in casu) MK dalam ranah aturan main politik, yang mana justeru hal ini untuk memberikan kepahaman pada rakyat mengenai garis demarkasi pembagian kekuasaan agar dapat memisahkan antara aturan main politik dengan norma hukum positif.
Sebagai perbandingan di Amerika Serikat pandangan yang menganggap pentingnya prinsip judicial restraint dalam perkara sengketa pemilu dapat diamati yang dikemukakan
Chief Justice Wells melalui dissenting opinion dalam kasus Bush v. Palm Beach Country Canvassing Board di Amerika berpendapat bahwa “tidak tepat mempermasalahkan sengketa pemilu di pengadilan karena merupakan perkara yang secara natural adalah perkara politik, lebih lanjut menurutnya prinsip pembatasan diri (judicial restraint) sangat penting dalam perkara yang menyangkut sengketa pemilu, sebab demokrasi bergantung kepada pemilu yang ditentukan oleh pemilih dan bukan oleh hakim.”
Dalam konteks kekuatan politik maka pengadilan merupakan cabang kekuasaan terlemah sehingga tentunya harus membatasi diri dari perkara-perkara yang bersifat politis. Meski politik yudisialmenjadi fenomena yang lazim di negara demokratis yang melibatkan pengadilan dalam penyelesaian masalah-masalah politik, sehingga rentan menjadi objek politisasi cabang kekuasaan lainnya dan menjadi sasaran sentimen negatif.
Menurut penulis, ini merupakan gejala pengalihan issue atau tanggungjawab dan masalah sementara kelompok politik dapat mencuci-tangan dari praktek-praktek politik yudisial yang mereka buat, merumuskan norma sekaligus menciptakan masalahnya sendiri, dimana politik yudisial dapat menjadi legitimasi atas hegemoni sesuatu kelompok atau ideologi politik, bukan rakyat. Yang bermasalah adalah kesepakatan politiknya, sehingga tidak bisa memanfaatkan hukum dan pengadilan sebagai ultimum apalagi primum remedium.
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL