Perjuangan Politik Demokrasi Ataukah Hukum Yang Mabuk Pesta Demokrasi? - Kongres Advokat Indonesia

Perjuangan Politik Demokrasi Ataukah Hukum Yang Mabuk Pesta Demokrasi?

Persidangan Perselisihan Hasil Penghitungan Suara Pemilu sedang berlangsung, Prof. Mahfud mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi atau MK dapat membuat landmark decision. Beliau berharap bahwa MK dapat mengambil langkah penting untuk menyelamatkan masa depan demokrasi dan hukum di Indonesia.

Kita pernah bersepakat soal Sistem Presidensil, artinya secara umum penafsiran ditujukan untuk kebaikan sistem tersebut, yang apabila tidak maka menimbulkan masalah etik baru, sebab berada diluar koridor kesepakatan yang masih segar dalam ingatan sebagai acuan, apalagi hukum positif harus ditafsirkan secara objektif demi kepentingan pemerintah dalam arti luas untuk dan atas nama rakyat.

Akar dari konsep independensi kekuasaan kehakiman adalah doktrin pemisahan atau pembagian kekuasaan dari Aristoteles yang dilengkapi kemudian oleh Monstesquieu yang menyatakan, Sekali lagi, tidak ada kebebasan jika kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dari legislatif dan eksekutif. Jika bercampur dengan legislatif, kehidupan dan kebebasan subjek akan berada di bawah kendali sewenang-wenang; karena hakim akan menjadi pembuat undang-undang. Kalau hakim bercampur dengan eksekutif, maka hakim bisa saja bertindak dengan kekerasan dan penindasan.”

Kemerdekaan Yudikatif adalah suatu conditio sine quanon sebagai jaminan kebebasan dan tameng kendali dari gilasan roda pemerintahan negara.

Jacobus Scheltema seorang pengacara sekaligus politikus bahkan mengatakan bahwa penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka, merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik.

Pengertian independensi juga dikemukan oleh Sir Ninian Stephen dalam J Djohansyah sebagai suatu peradilan yang menjalankan keadilan menurut hukum tanpa pengaruh dari kebijakan dan tekanan pemerintah pada saat itu. [J. Djohansyah, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Kesaint Blanc, 2008, h. 136]

Begitu pendirian Hakim Benjamin N. Cardozo yang mengatakan, Tugas saya sebagai hakim mungkin adalah mengobjektifikasi hukum, bukan aspirasi, keyakinan, dan filosofi saya sendiri, namun aspirasi, keyakinan, dan filosofi pria dan wanita di zaman saya. Saya tidak akan bisa melakukan hal ini dengan baik jika simpati, keyakinan, dan pengabdian saya yang penuh gairah sudah tidak ada lagi.” [Benjamin N. Cardozo, The Nature of The Judicial Process, New Haven and London: Yale University Press, 1991, h. 173]

Independensi Praktis yang nyata (Praktische of Feitelijke Onafhankelijkheid) adalah tidak berpihak (imparsial), Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan dari media, namun tidak boleh dipengaruhi oleh berita-berita itu lalu mengambil begitu saja tanpa pertimbangan.

Hakim juga harus mampu menyaring desakan-desakan dalam masyarakat agar dipertimbangkan dan diuji secara kritis dan empirik dengan ketentuan hukum yang sudah ada, harus mengetahui sampai sejauh mana norma-norma sosial dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Hakim harus mampu merefleksikan setiap teks pasal yang terkait dengan fakta kejadian yang ditemukan di persidangan ke dalam putusan hakim. Filsafat harus masuk membantu pikiran hakim menyusun pertimbangan putusannya. [Firman Floranta Adonara, “Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara sebagai Amanat Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015, h. 220]

Bahkan K.C Wheare, berpendapat bahwa “sebuah konstitusi memang merupakan hasil dari jajaran kekuatan – kekuatan politik, ekonomi, dan sosial – yang beroperasi pada saat konstitusi tersebut diadopsi”. [KC Wheare, Modern Constitution, London: Oxford University Press, 1969, hal. 68] Dapat dipahami bahwa konstitusi memiliki materi muatan yang sangat luas dan tidak terbatas mengenai kelembagaan politik suatu negara saja.

Penulis mengutip pendapat I Dewa Gede Palguna sepanjang yang bersesuaian dengan konteks tulisan ini mengenai penafsiran non-originalism (non-original intent) merupakan penafsiran yang paling tepat dalam memahami konstitusi sekaligus sebagai dasar menentukan pertentangan norma hukum, ada kalanya merupakan keharusan bagi hakim untuk mengisi kekosongan konstitusi, memungkinkan hakim untuk mencegah krisis yang dapat terjadi karena penafsiran yang tidak fleksibel terhadap suatu ketentuan dalam konstitusi yang tidak lagi mampu memenuhi maksud asli dari ketentuan, memungkinkan konstitusi berkembang sesuai dengan pengertian-pengertian yang lebih mencerahkan. [I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, h. 289-290]

Pendapat tersebut terafirmasi oleh Justice Brennan, Hakim Agung Amerika yang mengatakan bahwa ”sikap bersikukuh dengan original intent tersebut merupakan ‘sikap sombong yang dibungkus dengan sikap rendah hati’. Sehingga dianjurkan agar hakim di zaman modern semestinya tidak hanya mengacu pada sejarah masa penyusunannya, melainkan pada sejarah masuknya interpretasi dan apa yang dimaksudkan oleh kata-kata dalam teks masa lalu tersebut.” [Maruarar Siahaan, Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Yang Hidup, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, h. 80]

Berbicara soal landmark decisions, maka salah satu kriteria yang harus dipenuhi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi adalah Putusan yang memuat norma konstitusional yang tidak terabsorbsi oleh undang-undang, tapi dinyatakan oleh Mahkamah konstitusi melalui ratio decidendi;

Masalahnya tidak sesederhana pernyataan bahwa MK pernah berjaya antara lain menyelamatkan demokrasi yang hampir tenggelam dan menyelesaikan kecurangan-kecurangan pemilu, bukan soal berani atau tidak, bukan soal mau apa tidak, untuk menjaga demokrasi dengan merelatifisir persepsi bahwa yang bisa memenangkan pemilu hanya orang yang punya kekuasaan, yang berkolaborasi dengan orang yang punya uang.

Tata Negara kita pernah menerapkan beberapa jenis antara lain demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila. Demokrasi mana yang disebut telah disimpangi? Kelsen, Huntington, Schumpeter atau Hook? Langsung, konstitusional, kerakyatan, formal, referendum ataukah yang lainnya?

Demokrasi apa yang dimaksud yang diklaim telah rusak oleh perilaku politik pemenang pemilu kali ini atau subjek lain? Apakah karakter demokrasi yang sedang diperjuangkan itu baik dan sama sama dengan yang kita pahami?

Era 2019 hingga 2024 bagi penulis ada banyak hal yang patut diambil pelajaran. Mengambil kerangka untuk melihat gambaran bagaimana kehidupan Oraganisasi yang multi-bar, bagaimana polanya akan berjalan, bagaimana distribusi kepercayaan akan terjadi, bagaimana dinamika itu akan berjalan dst, diluar perkara negatifnya yang pasti ada sebagai residu.

Dari sekian banyak pendapat entah dari influencer, masyarakat awam bahkan para pakar berbicara soal demokrasi tapi sama sekali tidak pernah mendefinisikan demokrasi itu artinya sama sekali tidak jelas demokrasi apa yang dirusak, demokrasi mana yang dinodai, bagaimana demokrasi yang secara spesifik kita anut disimpangi.

Saya bukan orang politik tapi mau tidak mau terjebak lagi dalam paradigma politik sebab harus menghadapi banyak pertanyaan dari anak-anak dirumah, sehingga seringkali saya katakan bahwa para pakar itu omong-kosong, terlalu tendensius, parsial, terjerumus mindset keberpihakan dan sama sekali tidak menghidupkan edukasi masyarakat, malah menularkan penyakit politik ke masyarakat, patologik. Namun, sebagai manusia hukum kita juga mesti aktif mengemas dalam kerangka hukumnya.

Hendaknya jangan lalai bahwa MK adalah Kehakiman, Yudikatif yang mandiri bebas dari intervensi namun ketika terjadi penetrasi maupun judisialisasi politik maka MK secara doktrinal diperbolehkan mengalami tanransformasi menjadi institusi politik yang juga berperan memutuskan arah politik sesuai tafsiran konstitusinya.

Bukan sekedar marwah MK tapi memang ia penjaga konstitusi, berada di gerbang demokrasi, ia penyaring dan penentu jalan mana yang tepat dan tidak, demokrasi seperti apa yang harus dijalankan yang harus juga bebas dari intrusi ego kepartaian, demokrasi yang membentuk UU untuk menjaga hak-hak konstitusional res publika.

Gus Dur sekitar tahun 80’an awal di salah satu media mainstream saat itu, kira-kira beliau katakan bahwa “bukan benar-salah karena kelompok saya, bukan benar-salah karena saya, tapi benar adalah benar dan salah adalah salah.”

Lihatlah sekarang, para juris berkumpul di ruang peradilan dalam konteks politik, atas nama perjuangan demokrasi, sudah lahir embrio juristokrasi totalitarian yang siap melahap Yudikatif dengan argumentasi peraturan perundang-undangan yang sayangnya melupakan res publika, abai dengan konstitusi rakyat, ini benar-benar pesta demokrasi yang terlalu berkepanjangan, ini perjuangan atau kemabukan?

Permasalahan ini bukan soal teori yang dikelilingi tembok keilmuan secara statis – pragmatis sekali jika elang merasa masih harus membunuh nyamuk – ini soal praksis yaitu tentang logika berpikir.

Peluru sudah di desain dengan banyak issue yang diterjemahkan dalam kerangka acontrary, diluar intensi orisinalnya, pelatuknya adalah Gibran yang memang anak seorang presiden sehingga wajar disebut dekat dengan kekuasaan dan itu perspektif aksiomatis, tapi sekaligus paradoks dari kenyataan bahwa Gibran adalah seorang individu yang secara yuridis sudah cakap, dan keputusan politik juga putusan MK 90 berlaku secara erga omnes untuk setiap tokoh muda. Sehingga, ini adalah masalah cara pandang dan penilaian yang harusnya objektif.

Harus dibedakan juga antara dalil-dalil PHPU dengan argumentasi hingga fakta umum yang harus dipilah sebagai fakta hukum impeachment.

Ideologi politik demokrasi dengan nasionalisme yang ekstrem juga cenderung otoritarian, eksklusif, memaksakan kehendak dengan pendapat sepihak, tidak kompromistik dan seterusnya – dus merupakan jebakan fasisme apalagi yang mengatasnamakan hukum, itu bukan lagi otokratik legism tapi juristokrasi totalitarian, dengan banyak topeng.

Hendaknya, jangan mencampuraduk antara marwah yang berhubungan dengan issue etik dengan signifikansi PHPU yang menjadi issue hukumnya, bagaimana mungkin dipaksa memutus perkara PHPU hanya karena disebabkan tekanan publik tertentu sementara polemik hukum yang sebenarnya tidak dapat dibuktikan dengan baik dan tidak ada signifikansi, sebagai manusia hukum ini konyol.

Tidak semua demokrasi itu sehat, sehingga menurut saya salah satu varian dari pemahaman diatas, yaitu Demokrasi Orwellian yang mendidik masyarakat dengan vigillante dan witch-hunt memang harus dilumpuhkan.

*Adv. Agung Pramono, SH, CIL

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024
Presidium DPP KAI Kukuhkan 15 AdvoKAI & Resmikan LBH Advokai Lampung
July 20, 2024
Rapat Perdana Presidium DPP KAI, Kepemimpinan Bersama Itu pun Dimulai
July 3, 2024
Tingkatkan Kapasitas Anggota tentang UU TPKS, KAI Utus 20 AdvoKAI untuk Ikut Pelatihan IJRS
June 26, 2024