Yudikatif harus menata diri dengan mulai bertransformasi sebagai institusi politik menngimbangi judisialisasi politik yang mencari pembenaran melalui putusan-putusan pengadilan agar perilaku absolutismenya mendapatkan legalitas, hegemoni menuju totalitarian.
Hirschl mengemukakan alasan penggunaan proses litigasi oleh aktor-aktor politik sebagai pengalihan penentuan masalah-masalah politik yang kontroversial kepada pengadilan secara sengaja, kemudian menyebutnya sebagai “manuver hegemoni”. [2008, hlm. 1]
Menurut Satjipto Rahardjo, pengadilan ibarat “panggung”. Proses yang berlangsung dalam peradilan menjadi semacam adegan permainan yang telah diatur tata cara permainannya. Para pemainnya tidak lain adalah merupakan para penegak hukum, yakni Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat, kemudian terdakwa, saksi-saksi dan juga pemain pembantu seperti panitera dan polisi, tidak luput juga para hadirin yang mengikuti jalannya sidang. [Bagir Manan, 2009, hlm. 118-119]
Satu-satunya senior ahli yang tidak memposisikan Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana Terpatu (SPPT) adalah Barda Nawawi Arief, menurut beliau implementasi 4 (empat) sub-sistem kekuasaan adalah kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili/menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi/pelaksanaan pidana. [Barda Nawawi Arief dan Muladi, 1984, hlm. 15]
Ini yang populer dalam praktek di ranah yudikatif melalui intrusi politik hukum eksekutif dan legislatif yang sementara ini seolah masih sebagai perpanjangan tangan dari partai politik pemegang kendali, berusaha mengamputasi organ yang diduga asing, Advokat.
Penegak Hukum Adalah Exclave Yudikatif
Merujuk peraturan perundang-undangan, rekan penegak hukum berada di posisi Pemerintah dimana segala kewenangan hukum yang berguna untuk tujuan kepemerintahan akan diminta dan cenderung dipenuhi sebab kepentingan Pemerintah.
Misal, diskresi menghentikan perkara di tahap penyidikan dan penuntutan boleh jadi akan bermutasi menjadi politik hukum dominus litis, sah-sah saja jika berkaitan dengan kurangnya bukti atau kelengkapan perkara tapi tidak sebagai penentu ranah hukumnya yang jelas menjadi kewenangan Hakim.
Diskresi tersebut juga diikuti kewenangan untuk berkoordinasi dengan pihak lain, tidak boleh menutup mata terhadap peran Advokat yang eksplisit diberikan fungsi kekuasaan kehakiman, jika tidak maka ia tidak menggunakan kewenangannya untuk berkoordinasi.
Baiklah, jika Kejaksaan disebut sebagai pengendali perkara namun perlu diingat bahwa MA memberikan ruang bagi Advokat sebagai “penyelenggara peradilan” sejak pembahasan RUU Advokat di 2002 dan dikutip dalam konsideransnya.
Makna “bertindak menurut penilaiannya” (jaksa) harus dibatasi pada tindakan jaksa sebagai quasi pengawas penyidikan, bukan menentukan ranah hukumnya sehingga terkesan menumpangi kewenangan kehakiman meskipun alasannya untuk mengurangi beban pengadilan.
Penjelasan Pasal 35 ayat (1) Huruf c UU No. 11/2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia secara eksplisit menyatakan bahwa Jaksa Agung memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960 menggeser paradigma Hukum Pidana menjadi “Kejaksaan pada Pengadilan, dan tidak lagi sekedar alat pelaksana kekuasaan pemerintah di bidang peradilan, melainkan juga merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri.”
Artinya, kejaksaan juga tidak bisa memposisikan diri sebagai solicitor atau barrister dari masyarakat umum, selain khusus bagi pemerintah saja, pun tidak memonopoli tugas kenegaraan Advokat.
Demikian juga UU No. 2/2002 Tentang Kepolisian Negara RI Pasal 14 Ayat (1) huruf j beserta penjelasannya disebutkan dalam melaksanakan tugas pokok melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang, sebatas pengetahuan dan kemampuannya untuk kepentingan penegakan hukum, artinya jelas bersifat sementara.
Sisi kepengacaraan dari Advokat seringkali diperbandingkan dengan strata jabatan institusional yang tidak mungkin sehingga disebut sebagai kaum partikelir, persepsi sistemik parsial yang menempatkannya sebagai subordinasi, diabaikan dari koordinasi.
Padahal, koordinasi sangat diperlukan sebab fungsi Advokatlah yang dapat menjembatani posisi exclave rekan penegak hukum agar tidak melulu politis, tidak terkesan interuptif dan/atau intrusif di ranah Yudikatif, merelatifisir konotasi persaingan kepercayaan publik.
Dominus Litis Advokat
Advokat memang partikelir dalam makna yang sebenarnya – bukan untuk umum, bukan kepunyaan pemerintah, bukan (milik) dinas, bukan antek swasta – Advokat merupakan hal yang khusus, bahkan sebetulnya eksklusif dalam sikap nobile sehingga harus diikat dengan sumpah agar kembali pada profesus.
Tiap fungsionaris kekuasaan kehakiman sudah semestinya berkoordinasi, kita tidak begitu saja meniru pola negara lain, sebab UU Kehakiman menempatkan kedudukan tersebut.
Berdasarkan prinsip diferensiasi fungsional, serapan sistem Perancis dan pola saat pendudukan Jepang maka jelas Kejaksaan berada pada domain atau dominus litis tertentu dalam batasan kepentingan eksekutif yang oleh karenanya jangan dirancukan dengan domain Advokat.
Disebutkan dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 Pasal 38 Ayat (2) huruf d mengenai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yaitu “pemberian jasa hukum”.
Artinya, secara sistematis peraturan perundang-undangan mengatakan bahwa jasa hukum yang dilakukan oleh selain pejabat atau petugas pengadilan yang berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman terhadap masyarakat umum tidak mempunyai dasar hukum kecuali yang diberikan oleh Advokat.
Profesor senior di Van Vollenhoven Institute, Jan Michiel Otto mengafirmasi kepentingan perspektif dari para pengacara pembela tersangka atau terdakwa terkait persoalan ini, “Perlu juga untuk melihat sudut pandang dari advokat pembela tersangka atau terdakwa dalam kasus pidana. Jadi, semakin penting untuk melihat bagaimana perspektif para pengacara yang biasa menangani perkara pidana”.
Penghormatan bagi Advokat sudah sejak zaman klasik Romawi, profesi hukum sudah berperan penting seperti (Marcus Tullius) Cicero yang disebut “Juristconsult” dan produknya disebut “Responsa” (pendapat hukum Juristconsults). Responsa ini …was equal to that of the law itself. Bahkan lebih jauh bisa “…putting their own ideas into effect”. [Hans Julius Wolff, 1978, hlm. 97]
Sebab mereka duduk di “consilium” juga pada saat yang sama sebagai “praetor” yang akan melaksanakan hukum dan magistrates. Jadi Advokat sejak awal selain seorang ahli yang menjual “jasa hukum” juga lebih jauh melakukan peranan yang lebih luas, membangun, membentuk hukum dan penasihat pemerintah.
Deborah M. Hussey Freeland mencermati posisi advokat dalam Sistem Peradilan Pidana, “Saya mempertimbangkan bagaimana seseorang menjadi seorang pengacara dan bagaimana pengacara berhubungan dengan pengadilan. Untuk melengkapi analisis hukum dan struktural, saya menarik dari teori-teori pembentukan identitas, dialektika Hegel, dan dari sangat langkanya upaya untuk mengeksplorasi apa pengacara tersebut. Saya menemukan bahwa pengacara memanifestasikan, melakukan dan tetap sebagai petugas pengadilan… dan penting juga untuk upaya sistem peradilan kita dalam mempengaruhi supremasi hukum.” [1998, hlm. 427]
Advokat mempunyai porsi dalam menegakkan hukum dan keadilan didalam kekuasaan kehakiman, memiliki peran penting dalam melakukan pengawasan dan pengawalan integritas peradilan, kata Bagir Manan.
Bahkan dalam hal-hal tertentu antara Jaksa dengan Advokat sama-sama berperan sebagai penuntut, dimana Jaksa dapat menuntut seseorang atau sekelompok orang yang merugikan Negara/pemerintah, namun disisi lain Advokat atas nama klien dapat menuntut Negara/pemerintah ketika merugikan hak-hak klien sebagai warga negara.
Polemik Kewenangan
Permasalahan Advokat yang seringkali dibawa ke ranah peradilan umum dan konstitusi seperti pseudo judicial conflict (konflik undang-undang semu) yang bermula dari suatu sengketa kewenangan dari tafsir parsial yang sama sekali tidak komprehensif, seadanya.
Dan menurut Solehudin keberadaan advokat dari prespektif filsafati dalam ketatanegaraan pada hakikatnya untuk menyeimbangkan kewenangan yang dimiliki oleh penegak hukum yang lain.
Pasal 28 ayat (1) frasa “organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat” sama sekali tidak menyatakan organisasi tunggal sebagai pokok rumusan. Peran dan fungsi Advokasi melekat pada individu secara ilmu dan etik, organisasi dalam aktivitas profesi ada di ranah administrasi.
Secara hermeneutis pasal itu ingin mengatakan bahwa ‘yang memproduksi advokat hanyalah organisasi advokat, bukan politik, bukan pemerintah, kehakiman, perusahaan otomotif, kedokteran, perguruan tinggi dlsb, sumber advokat adalah organisasi advokat dengan kebebasan dan kemandiriannya, dan bukan organisasi/lembaga/institusi lain inilah maksud dari frasa satu-satunya wadah profesi’, pasal ini sama sekali tidak berbicara soal single atau multi bar.
Peran mahkamah konstitusi menjadi signifikan sebagai pengambilan kebijakan. George Tsebelis menyebut konsep ini dengan istilah veto-player yaitu seseorang atau lembaga yang keputusannya sangat menentukan dalam pengambilan kebijakan. [1995, hal. 289]
Putusan perkara No. 014/PUU-IV/2006 terdapat frasa organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri yang juga melaksanakan fungsi negara. Fungsi negara yang dimaksud oleh MK, dengan merujuk pada putusan atas perkara No. 006/PUU-II/2004, adalah kewajiban para advokat pada umumnya untuk memberikan akses pada keadilan bagi semua orang.
Wewenang adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu berdasarkan jabatannya. Hak mengacu pada apa yang diperoleh, sementara kewajiban mengacu pada apa yang harus dilakukan.
Politik penegakan hukum wilayah Yudikatif hendaknya disepakati bahwa memang dibutuhkan adanya suatu sengketa kewenangan, artinya untuk mendudukan para fungsionaris dalam suatu musyawarah untuk menentukan solusi atas perkara berdasarkan amanat kekuasaan kehakiman.
Setiap hasilnya dilaporkan kepada kehakiman – in casu Mahkamah Agung – baik berupa pelimpahan perkara untuk diputus maupun alternatif penyelesaian lain untuk disetujui.
Advokat adalah fungsionaris kekuasaan kehakiman, sebagai rechtsbeoefening (pengembanan hukum) dalam kuasa procuro (wakil private), probono (demi kepentingan publik) dan prodeo (untuk Tuhan), inilah the origin of profesus, yaitu pengakuan atau komitmen iman, atau pernyataan kesungguhan hatim atau janji dimuka umum atas keahlian di bidangnya.
*Adv. Agung Pramono, SH, CIL.