Kompas.com – Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo menilai pengubahan definisi terorisme dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak perlu diubah.
Pengubahan definisi terorisme sebagai tindak pidana menjadi kejahatan terhadap negara dinilai dia dapat memunculkan potensi penyalahgunaan wewenang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Hermawan mengatakan, potensi tersebut muncul karena TNI dapat terlibat dalam operasi pemberantasan terorisme jika definisi tersebut diubah.
Sebab, pengubahan definisi tersebut membuka peluang pemberantasan terorisme dilakukan melalui mekanisme perang.
“Kalau kejahatan maka penanganannya itu adalah criminal justice system. Ada peradilannya, ditangani oleh aparat sipil yaitu polisi, ada pertanggungjawaban, akuntabilitas,” kata Hermawan, usai diskusi di kantor PARA Syndicate, Jakarta, Jumat (21/10/2016).
“Kalau dia masuk dalam kategori perang kan tidak perlu semua itu. Ini penyalahgunaan kewenangannya bisa luar biasa,” ujar dia.
Menurut Hermawan, pengubahan definisi terorisme dari tindak pidana menjadi kejahatan terhadap negara tidak perlu dilakukan.
Ini mengingat ancaman terorisme belum setingkat perang seperti di Amerika Serikat atau Eropa.
“Kita belum sampai pada situasi yang memaksa kita untuk memutuskan pergeseran kategori terorisme menjadi perang,” ujar Hermawan.
Hermawan menuturkan, saat ini polisi telah mampu mengatasi adanya aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia.
“Ada polisi banyak kok. Buktinya dapat terus,” kata Hermawan.
Selain itu, lanjut Hermawan, instrumen hukum di Indonesia sudah cukup membatasi berkembangnya aksi terorisme.
Apalagi, Indonesia telah melarang masyarakat untuk memiliki senjata secara bebas melalui Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 7 Tahun 2010, dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2012.
“Kenapa di Eropa, Amerika itu terorisme masuk kategori perang? Karena senjata bebas di sana. Ini karena di kita tidak ada, jangan masuk kategori perang,” ucap Hermawan.
Beberapa pekan lalu, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal TNI Gatot Nurmantyo meminta agar definisi tindak pidana terorisme diubah.
Menurut Gatot, definisi kejahatan terorisme sebagai tindak pidana menjadikan Indonesia sebagai lokasi teraman bagi operasi teroris.
Ini disebabkan ancaman terorisme di Indonesia tidak dapat diatasi secara cepat. Akibatnya, kejahatan terorisme hanya bisa diatasi setelah peristiwa teror terjadi.
“Seharusnya definisi teroris itu belajar dari Irak, Suriah, dan Libya yang bisa merusak keutuhan negara. Maka definisi teroris adalah kejahatan terhadap negara,” ujar Gatot.
(Kongres Advokat Indonesia)