Persoalan Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Kawin Kontrak
Persoalan Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Kawin Kontrak

Persoalan Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Kawin Kontrak

Persoalan Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Kawin Kontrak

Hukumonline.com – Praktek kawin kontrak tidak hanya berdampak pada lingkaran pelaku yang mengambil keuntungan dari bisnis ini, tetapi juga melahirkan ekses yang tidak diperhitungkan sebelumnya sebagai pihak yang akan turut terdampak, yakni anak-anak yang lahir sebagai buah hasil dari kawin kontrak.

Secara hukum, anak-anak yang lahir sebagai buah hasil kawin kontrak ini dikategorikan sebagai anak luar kawin. Meskipun diklaim sebagai perkawinan yang sah secara agama oleh para pelakunya, tetapi kawin kontrak bukanlah bentuk ikatan perkawinan yang sah berdasarkan hukum agama dan tidak tercatat berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun sejak 17 Februari 2010, terdapat terobosan hukum melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 atas judicial review terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan.

Berdasarkan putusan MK tersebut, anak luar kawin kini bisa memiliki hubungan keperdataan dengan laki-laki yang merupakan ayah biologisnya, melalui pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau dengan alat bukti lain yang dapat membuktikan adanya hubungan darah, atau yang dikenal luas oleh masyarakat dengan pembuktian melalui Tes DNA. Dengan lahirnya tersebut, terbuka peluang bagi anak dari hasil kawin kontrak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan ayah, termasuk segala hak keperdataannya seperti waris.

Namun bagi sebagian kalangan, putusan MK justru kontradiktif dengan hukum perkawinan menurut aturan dasar syariat Islam yang mengharamkan nikah mut’ah. Praktek kawin kontrak yang terjadi di Indonesia saat ini dianggap dekat dengan praktek perzinahan. Sebagaimana hukum syariat memandang anak yang lahir dari perzinahan, maka anak yang lahir dari kawin kontrak dianggap tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 seperti berada di persimpangan antara mengembalikan hak-hak anak yang lahir dari kawin kontrak, sementara bagi sebagian kalangan yang melihat perkawinan berdasarkan syariat agama, putusan ini justru dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan hukum perkawinan dalam Islam.

Seorang Perempuan yang mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan dalam jangka waktu tertentu dengan seorang pria asing, membungkusnya dengan akad nikah sehingga seolah-olah sah menurut syariat Islam. Namun hal ini tidaklah memenuhi ketentuan Pasal 1 jo Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena nikah mut’ah secara Islam telah dilarang oleh para ulama, dan kawin kontrak tidak diakui sebagai bentuk perkawinan menurut hukum Negara.

Praktek kawin kontrak sudah diharamkan sejak 25 Oktober 1977 melalui fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Para ulama yang mendudukkan peristiwa kawin kontrak pada konteksnya, pertimbangan kemudharatannya lebih banyak dibandingkan kebaikannya. Sementara perkawinan hanya dinyatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum agamanya.

Berdasarkan ketentuan hukum positif, kawin kontrak bukanlah ikatan lahir dan batin, serta dilakukan bukan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan.

UU Perkawinan juga mewajibkan pencatatan perkawinan untuk mendapatkan akta perkawinan. Akta perkawinan merupakan sebuah bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan. Namun keberadaan akta perkawinan tidaklah untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan, karena sah atau tidaknya perkawinan di Indonesia disesuaikan dengan hukum agamanya.

Selain itu, dalam praktek kawin kontrak seperti kasus yang terjadi di kawasan Puncak, yang dapat dipermasalahkan bukan hanya status perkawinannya, tetapi juga status kewarganegaraan dari ayah biologis dari anak yang lahir lewat ikatan kawin kontrak. Perikatan perkawinan berjangka waktu ini dilakukan oleh perempuan Indonesia dengan laki-laki ekspatriat yang hanya menetap sementara di Indonesia.

Perkawinan berjangka waktu ini tentu tidak dicatatkan melalui proses hukum yang berlaku di Indonesia, dan tidak pula dicatatkan di kedutaan besar Negara laki-laki yang terikat dalam kawin kontrak. Mengacu pada ketentuan mengenai anak dari hasil perkawinan campuran dalam Pasal 6 ayat (1) jo. Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, pemberian kewarganegaraan ganda bagi anak hasil kawin campuran sifatnya limitatif.

Seorang anak hingga usia 18 tahun dapat memiliki kewarganegaraan ganda dengan ketentuan yang sifatnya limitatif berdasarkan UU Kewarganegaraan, yakni: 1. anak yang lahir dari perkawinan sah dari ayah WNI dan ibu WNA; 2.  anak yang lahir dari perkawinan sah dari ayah WNA dan ibu WNI; 3. anak yang lahir di luar perkawinan sah dari ibu WNA yang diakui ayah WNI; dan 4. anak yang lahir di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah-ibu WNI yang karena ketentuan dari negara tersebut maka dapat memberikan status kewarganegaraan terhadap anak dilahirkan tersebut.

Dapat dilihat dari ketentuan tersebut, anak dari hasil kawin kontrak antara perempuan Indonesia dengan laki-laki WNA, tidak memenuhi persyaratan untuk dapat memiliki kewarganegaraan ganda. Anak dari hasil kawin kontrak hanya bisa mengikuti kewarganegaraan dari pihak Ibu.

Anak dari hasil kawin kontrak juga dipertanyakan status kependudukannya. Dengan tidak adanya pencatatan perkawinan, dapat dipastikan Ibu biologis dari anak hasil kawin kontrak tidak memegang akta perkawinan. Namun demikian, anak yang lahir dari hasil kawin kontrak tetap bisa memperoleh akta kelahiran, sebagaimana anak yang lahir dari hasil perkawinan yang sah secara agama dan tercatat dalam sistem kependudukan.

Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, anak-anak yang lahir sebagai buah hasil kawin kontrak dapat mendapatkan akta kelahiran yang tercatat dalam system kependudukan, dengan hubungan keperdataan dengan sang Ibu.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Ibu biologis dari anak yang lahir dari hasil kawin kontrak, dapat mengajukan permohonan akta kelahiran bagi si anak dengan syarat berikut: memegang surat kelahiran yang dapat dimintakan pada Dokter atau Bidan atau penolong kelahiran, mempunyai nama dan identitas saksi kelahiran, memberikan Kartu Tanda Kependudukan (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) Ibu biologis dari si anak.

Kepentingan hukum dari anak yang lahir dari hasil kawin kontrak tidak boleh digugurkan karena kedua orangtua biologisnya dianggap melanggar ketentuan hukum agama dan hukum Negara. Rancangan regulasi dan penegakkan hukum terhadap lingkaran pelaku bisnis prostitusi berkedok agama seperti kawin kontrak, tidak boleh ditujukan untuk menghukum anak yang lahir dari peristiwa yang tidak dikehendakinya. Negara harus hadir memberikan perlindungan hukum dan memenuhi hak-hak si anak.

(Kongres Advokat Indonesia)

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024