Hukumonline.com – Pemerintah dan DPR kini sedang membahas revisi terhadap UU No. 15 Tahun 2003, lebih dikenal sebagai UU Terorisme. Undang-Undang itu menetakan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Sebagai Undang-Undang. Pansus RUU tersebut sudah beberapa kali mengadakan rapat dengan Pemerintah.
Dari proses pembahasan itu terungkap sejumlah masalah. Perubahan lebih menitikberatkan pada perluasan kewenangan badan penanggulangan terorisme seperti BNPT dan Densus 88 Mabes Polri. Pemenuhan hak-hak korban belum diuraikan dalam draf yang diusulkan Pemerintah.
Dalam seminar yang diselenggarakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta, Kamis (08/9), terungkap sejumlah masalah pemberian kompensasi atau restitusi kepada korban tindak pidana terorisme. Misalnya, bagaimana eksekusi dilakukan jika pihak yang diperintahkan pengadilan membayar kompensasi enggan memenuhi perintah pengadilan.
Dalam UU Terorisme disebutkan korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi yang pembiayaannya dibebankan kepada negara. Jika ganti kerugian itu diberikan oleh pelaku disebut restitusi. Kompensasi itu diajukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan putusan pengadilan. Pengadilan juga bisa memerintahkan pelaku atau pihak ketiga memberikan restitusi. Pasal 39 UU Terorisme menentukan, paling lambat 60 hari sejak menerima permohonan wajib memberikan kompensasi atau restitusi.
Persoalannya, bagaimana kalau Kementerian Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga tak mau secara sukarela memenuhi perintah pengadilan? Apakah mekanisme lanjutannya disesuaikan dengan mekanisme hukum acara perdata? Misalnya, minta penetapan eksekusi, atau harta pelaku disita, lalu dilelang, dan hasilnya diserahkan kepada korban. Mekanisme semacam ini tak diatur secara jelas.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo, menjelaskan perundang-undangan mengatur jika pelaksanaan pemberian kompensasi atau restitusi melampaui batas waktu 60 hari, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal itu kepada pengadilan. Dari pengaduan itulah Pengadilan mengeluarkan penetapan yang memerintahkan Menteri Keuangan membayar kompensasi, atau pelaku/pihak ketiga untuk membayar restitusi.
Berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia korban, terutama kompensasi dan restitusi, perundang-undangan Indonesia sebenarnya sudah banyak mengatur. Salah satunya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
Harkristuti lebih melihatnya sebagai persoalan implementasi, yaitu kemauan melaksanakan putusan pengadilan. Selama ini saja putusan pengadilan sering tak diikuti, bahkan meskipun sudah ada penetapan eksekusi. Belum lagi jaminan kecepatan prosesnya di pengadilan. “Berapa lama prosesnya di pengadilan? Jangan sampai korban sudah mati duluan, nggak dapat kompensasi,” kata ahli hukum pidana itu.
Problem lain adalah waktu permintaan kompensasi. Dalam UU Terorisme disebutkan kompensasi itu disebutkan dalam amar putusan hakim. Bagaimana kalau penuntut umum tidak memasukkan permohonan kompensasi itu dalam surat dakwaan? Bukankah kepentingan korban seharusnya direpresentasikan penuntut umum, sehingga dituangkan dalam surat dakwaan? Faktanya, dalam persidangan kasus-kasus terorisme, banyak yang tak memuat permohonan kompensasi untuk dibayarkan kepada korban.
Harapan kini digantungkan pada revisi UU No. 15 Tahun 2003. Sejauh ini materi muatan revisi malah tak banyak menyinggung hak-hak korban. Karena itu, Ketua Pansus RUU tersebut, R. Muhammad Syafi’i, mengusulkan formulasi draf. “Khususnya formulasi Bab VI mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Terutama substansi pasal 36 sampai 42 yang mengatur mengenai perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban terorisme,” jelasnya.
(Kongres Advokat Indonesia)