Cnnindonesia.com – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi atas Pasal 88 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Permohonan tersebut diajukan oleh mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto, setelah namanya terseret kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Setya menilai pengertian ‘pemufakatan jahat’ dalam Pasal 88 KUHP, yang menjadi rujukan dalam Pasal 15 UU Tipikor, tidak jelas dan berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi akibat penegakan hukum yang keliru.
Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan amar putusan menyatakan bahwa Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3, Pasal 28 D ayat 1, dan Pasal 28 I ayat 4 Undang-undang Dasar 1945.
Frasa ‘pemufakatan jahat’ dalam Pasal 15 UU Tipikor juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya, sepanjang tidak dimaknai bahwa pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana” kata Arief di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Rabu (7/9).
Meski begitu, tiga dari sembilan majelis hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion (pendapat yang berbeda) dalam putusannya. Mereka adalah I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, dan Manahan MP Sitompul.
Palguna menyatakan bahwa pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum dalam mengajukan uji materi UU Tipikor, sebab pemohon merupakan anggota DPR yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran.
Sementara Suhartoyo berpendapat permohonan uji materi yang diajukan Setya tidak berkaitan dengan inkonstitusional Pasal 15 UU Tipikor. Sedangkan Manahan MP Sitompul menyatakan bahwa frasa ‘pemufakatan jahat’ yang tertuang dalam Pasal 15 UU Tipikor tidak beracuan pada Pasal 88 KUHP.
Kuasa hukum Setya, Saifullah Hamid, mengapresiasi putusan MK ini. Menurutnya, putusan ini harus digunakan oleh aparat penegak hukum untuk meninjau kembali kapasitas kliennya dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
“Delik-delik yang bersyarat kualitas tertentu, maka secara aktif juga harus diperiksa. Artinya, harus dipertimbangkan betul apakah orang yang diperiksa ini, yang dituduh melakukan pemukafatan jahat ini, apakah punya kualitas untuk melakukan itu,” katanya.
Kasus Setya Novanto
Setya Novanto dijerat Pasal 15 UU Tipikor tentang pemufakatan jahat terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Dugaan tersebut muncul setelah beredar rekaman pembicaraan antara orang yang diduga sebagai Setya dengan petinggi Freeport Indonesia. Kasus Setya masih ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Mengomentari hal itu, Saifullah mengatakan bahwa putusan MK soal UU ITE sudah menyatakan dengan tegas bahwa rekaman pembicaraan tidak bisa dijadikan alat bukti. Bahkan, kata Saifullah, perekam pembicaraan bisa dikategorikan melakukan tindak pidana.
“Yang merekam itu adalah tindak pidana, yang merekam kemudian dijadikan alat bukti di kejaksaan itu adalah pelaku tindak pidana,” ucapnya.
Dalam putusan MK, dia menambahkan, sudah dijelaskan bahwa alat bukti dapat dikatakan sah apabila dilakukan oleh penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan penegak hukum lainnya. Selain itu, cara-cara yang dilakukannya harus mengikuti prosedur hukum yang ada.
“Jadi dua poin itu yang di UU ITE tadi. Artinya, ini menunjukan bahwa apa yang menjadi alat bukti perekaman, yang selama ini dijadikan alat bukti di kejaksaan itu, tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti dan yang kedua itu bisa dipidana,” tutur Saifullah.
(Kongres Advokat Indonesia)