Hukumonline.com – Majelis hakim yang diketuai Yohannes menyatakan Marudut Pakpahan, serta dua petinggi PT Brantas Abipraya (Persero), Sudi Wantoko dan Dandung Pamularno terbukti menjanjikan sesuatu kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati DKI Jakarta Tomo Sitepu.
Yohannes mengatakan, Marudut terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. “Menghukum Marudut dengan pidana penjara selama tiga tahun dan denda Rp100 juta subsidair tiga bulan kurungan,” katanya membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (2/9).
Dalam persidangan terpisah, majelis juga menghukum Sudi dan Dandung dengan pidana penjara selama tiga tahun dan 2,5 tahun. Masing-masing dihukum membayar denda Rp150 juta subsidair tiga bulan kurungan dan Rp100 juta subsidair dua bulan kurungan. Majelis menganggap ketiganya terbukti menjanjikan uang kepada Tomo dan Sudung.
Saat membacakan pertimbangan putusan Marudut, Yohannes mengatakan delik suap dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor merupakan delik berpasangan. Harus ada kesepakatan atau “meeting of mind” antara pemberi dengan penerima atau calon penerima suap. Dari fakta persidangan, terungkap adanya komunikasi antara Marudut dengan Tomo dan Sudung.
Bermula dari Sudung yang menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor PRIN-357/O.1/Fd.1/03/2016 tanggal 15 Maret 2016 atas dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan penggunaan keuangan PT Brantas yang dilakukan Sudi, sehingga merugikan keuangan negara, dalam hal ini PT Brantas, sebesar Rp7,028 miliar.
Surat perintah penyelidikan itu ditindaklanjuti dengan pemanggilan beberapa saksi dari pihak PT Brantas. Pada 22 Maret 2016, Dandung bersama beberapa staf PT Brantas, bertemu Marudut di Club House Lapangan Golf Pondok Indah, Jakarta. Dandung meminta Marudut menyampaikan kepada Sudung agar menghentikan perkara Sudi.
Menindaklanjuti permintaan Dandung, sambung Yohannes, pada 23 Maret 2016 sekira pukul 09.00 WIB Marudut menemui Sudung dan Tomo di Kantor Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Marudut merminta kepada Sudung dan Tomo untuk menghentikan penyelidikan kasus korupsi yang menjerat Sudi.
Atas permintaan itu, Sudung memerintahkan Marudut untuk membicarakan lebih lanjut dengan Tomo. Kemudian, Marudut kembali melakukan pertemuan dengan Tomo di ruang kerjanya. Dimana, dalam pertemuan, terjadi percakapan sebagai berikut.
Marudut : “Pak, masalah kasus yang tadi seperti apa kira-kira ya, Pak?”.
Tomo : “Wah, ini sudah Penyidikan Lay, dananya sudah dipakai mereka gak bener. Sudah telat, Lay”.
Marudut : “Tapi ini teman-teman saya, Bang, apa masih bisa dibantu?”.
Tomo :“Ini kita dalami dulu. Nanti kita lihat, makanya segera suruh datang mereka, biar ketahuan arahnya. Nanti kalau bisa dibantu, ya kita bantu”.
Marudut : “Kalau bisa dibantu, seperti apa Bang?”
Tomo : “Makanya kau tanya mereka, seperti apa bantuannya?
Marudut: “Oke, nanti saya bicarakan dengan mereka, Bang. Lalu nantinya bagaimana Bang, ini kan Penyidikan. Apa bisa dihentikan? Atau diturunkan jadi Penyelidikan saja?
Tomo : “Ya, nanti kalau bisa dibantu, ya kita hentikan saja Penyidikannya”
Yohannes menyatakan, berdasarkan pembicaraan tersebut, Marudut mempunyai pemahaman bahwa Tomo meminta uang operasional untuk menghentikan perkara Sudi. Marudut menemui Dandung di lobby Hotel Gran Melia dan menyampaikan Tomo meminta sejumlah uang untuk menghentikan pekara. Dan, permintaan itu pun disepakati Dandung dan Sudi.
“Disepakatilah pemberian uang sejumlah Rp2,5 miliar-Rp3 miliar. Untuk realisasi penyerahan, pada 30 Maret 2016, Marudut kembali dihubungi Dandung yang sepakat serah terima pada 31 Maret 2016 di toilet pria lantai 5 Hotel Best Western The Hive, Jakarta Timur. Marudut menerima uang Rp2 miliar dalam bentuk dollar AS$148,835 ribu dari Dandung,” ujarnya.
Menurut Yohannes, sesuai fakta persidangan, pemberian uang itu dimaksudkan untuk menghentikan perkara Sudi di Kejati DKI Jakarta. Sesaat setelah menerima uang, Marudut menghubungi Sudung untuk memastikan apakah Sudung berada di kantor. Oleh karena Sudung tidak menjawab, Marudut menghubungi Tomo dan menyampaikan akan segera menghadap.
Selanjutnya, Marudut mengirimkan Blackberry Messenger (BBM) kepada Sudung yang dijawab Sudung dengan kata “Yes”. Ketika marudut bermaksud ke kantor Kejati DKI Jakarta untuk menyerahkan uang kepada Tomo dan Sudung, dalam perjalanan Marudut ditangkap petugas KPK. Uang sejumlah AS$148,835 ribu pun disita
BAP sebagai petunjuk
Meski di persidangan Marudut mencabut keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menyatakan ada kesepakatan dengan Tomo soal pemberian uang, majelis mengenyampingkan pencabutan tersebut. Bukan tanpa sebab, melainkan karena pencabutan keterangan itu tidak sesuai dengan kebenaran.
Yohannes mengatakan, sesuai Pasal 153 ayat (2) huruf b KUHAP, ketua majelis wajib menjaga agar terdakwa dan saksi dapat memberikan keterangan secara bebas, termasuk mencabut keterangannya. “Namun, satu hal yang perlu diingat, KUHAP memberikan jaminan kebebasan untuk memberikan keterangan, bukan kebebasan untuk menyampaikan kebohongan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yohannes mengungkapkan, sesuai Pasal 189 KUHAP, keterangan terdakwa adalah keterangan yang dinyatakan di persidangan tentang perbuatan yang ia lakukan, ketahui, dan alami sendiri. Keterangan yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh alat bukti yang sah.
Penggunaan keterangan di luar sidang sebagai alat bukti petunjuk ini juga didasarkan pada dua yurisprudensi Mahkamah Agung, yaitu putusan tanggal 23 Februari 1960 dan 21 September 1977. Putusan 23 Februari 1960 menjelaskan, pengakuan terdakwa di luar sidang yang dicabut di pengadilan tanpa alasan yang berdasar merupakan petunjuk tentang kesalahan terdakwa.
Demikian pula, putusan tanggal 21 September 1977 yang menegaskan bahwa pengakuan-pengakuan para terdakwa di muka polisi dan jaksa ditinjau dalam hubungannya dengan satu dan lainnya dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk menetapkan kesalahan terdakwa. Atas dasar itu, majelis menggunakan keterangan BAP Marudut sebagai petunjuk.
“Di depan persidangan memberikan keterangan berbeda, tapi pada sisi lain Marudut menerangkan pemberian keterangan saat pemeriksaan (di penyidikan) dilakukan secara bebas, tanpa paksaan, sehingga majelis tidak menemukan cukup alasan yang mendasar atas pencabutan keterangan tersebut,” kata Yohannes menerangkan.
Dengan demikian, Yohannes berpendapat, keterangan yang benar adalah keterangan Marudut yang disampaikan di depan penyidik, yaitu sesaat setelah menerima uang dari Dandung, Marudut menghubungi Sudung untuk memastikan apakah Sudung berada di Kantor Kejati DKI Jakarta. Oleh karena Sudung tidak segera menjawab, Marudut menghubungi Tomo.
“Marudut menyampaikan akan segera menghadap, dan selanjutnya mengirim BBM kepada Sudung yang dijawab ‘Yes’. Ketika Marudut bermaksud ke Kejati DKI Jakarta, dalam perjalanan Marudut ditangkap dan uang disita petugas KPK. Dari fakta-fakta di persidangan, majelis berpendapat semua unsur dalam dakwaan kesatu telah terpenuhi,” ujarnya.
Dissenting opinion
Namun, putusan yang dijatuhkan majelis tidak bulat. Dua hakim anggota, Casmaya dan Edy Supriyatno menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Casmaya lebih sepakat dengan tuntutan penuntut umum yang mengklasifikasikan perbuatan Marudut sebagai percobaan penyuapan sebagaimana dakwaan alternatif kedua.
Casmaya beralasan, tidak ada kesepakatan atau meeting of mind antara Marudut, Tomo, dan Sudung mengenai pemberian uang. Terlebih lagi, niat penyerahan uang berawal dari inisiatif Marudut setelah bertemy Sudung dan Tomo. Perbuatan penyerahan uang pun tidak selesai bukan karena keinginan Marudut, tetapi karena ditangkap petugas KPK. (Baca Juga: Kajati DKI dan Aspidsus Diduga Terkait Suap PT Brantas Abipraya)
Berdasarkan pertimbangan itu, Casmaya menilai, Marudut lebih tepat dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor jo Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (percobaan penyuapan). Begitu pula dengan Edy. Sebab, perbuatan Marudut dinilai baru permulaan pelaksanaan niat. Perbuatan tidak selesai karena Marudut ditangkap petugas KPK.
Atas putusan tersebut, penuntut umum KPK Irene Putrie masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Di lain pihak, Marudut langsung menerima. “Saya menerima,” ujarnya. Sama halnya dengan Sudi dan Dandung. Dalam sidang terpisah, Direktur Keuangan dan Human Capital, serta Senior Manager Pemasaran PT Brantas ini juga menyatakan menerima putusan majelis.
(Kongres Advokat Indonesia)