Hukumonline.com – Mahkamah Konstitusi secara bulat menolak permohonan pengujian Pasal 20 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang dimohonkan korban pelanggaran HAM Tragedi 1998, Paian Siahaan dan Ruyati Darwin. Alasannya, Mahkamah menganggap aturan proses penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan penerapan norma.
“Permohonan ini bukan disebabkan inkonstitusional Pasal 20 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berikut penjelasannya, melainkan perbedaan pendapat dalam menerapkan norma itu dalam praktik dan tidak lengkapnya norma Pasal 20 UU Pengadilan HAM,” ujar Hakim Konstitusi I Gede Dewa Palguna saat membacakan pertimbagan putusan bernomor 75/PUU-XIII/2015 di Gedung MK, Selasa (23/8).
Dalil Pasal 20 ayat (3) Pengadilan HAM berikut penjelasannya telah menyebabkan Para Pemohon tidak dapat menikmati haknya untuk bebas dari perlakuan diskriminatif, Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan diskriminasi baik dalam rumusan norma Pasal 20 ayat (3) maupun Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000.
“Pasal 20 ayat (3) maupun Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM sama sekali tidak memuat materi semacam itu,” katanya.
Mahkamah menganggap keinginan Pemohon agar Mahkamah memberi penafsiran tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan. Sebab, penyebab ketidakpastian sebagaimana dialami para Pemohon bukan bersumber pada inkonstitusionalnya Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM berikut penjelasan. “Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Meski permohonan tak beralasan, hal itu tidak meniadakan fakta bahwa para Pemohon telah mengalami ketidakpastian dalam praktik, khususnya perbedaan pendapat antara Penyelidik (Komnas HAM) dan Penyidik (Jaksa Agung) ketika menerapkan Pasal 20 ayat (3) ini. Karena itu, Mahkamah memandang penting memberi catatan jangka panjang kepada pembentuk UU guna melengkapi ketentuan Pasal 20 UU Pengadilan HAM.
Pertama, penyelesaian atau jalan keluar dalam hal terjadi perbedaan pendapat yang berlarut-larut antara Penyelidik (Komnas HAM) dan Penyidik (Jaksa Agung) mengenai dugaan adanya pelanggaran HAM berat, khususnya kelengkapan hasil penyelidikan. Kedua, jalan keluar apabila tenggang waktu 30 hari melengkapi berkas penyelidikan terlampaui dan Penyelidik (Komnas HAM) tidak mampu melengkapi kekurangan hasil Penyelidikannya. Ketiga, langkah-langkah hukum yang dapat ditempuh oleh warga negara yang merasa dirugikan oleh pengaturan pada angka (1) dan angka (2) di atas.
Menurut Mahkamah adanya ketegasan pengaturan demikian, maka masa yang akan datang tidak ada warga negara yang mengalami ketidakpastian hukum seperti dialami para Pemohon. Selain itu, bercermin keadaan dialami para Pemohon, sesungguhnya hal itu sudah tidak berada di wilayah yuridis, melainkan pada kemauan politik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
“Sesuai semangat UUD 1945 seharusnya semua pihak mengutamakanbekerjanya supremasi hukum diatas pertimbangan lain sesuai amanat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.”
Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS, Yati Andriani menghormati putusan MK ini. Namun, dia menilai pertimbangan putusan ini sekaligus mengingatkan otoritas negara agar segera menyelesaikan ketidakpastian hukum yang dialami korban kerusuhan ’98. “Ini juga dibutuhkan kemauan politik negara untuk segera menuntaskan pelanggaran HAM berat yang sudah lebih dari 13 tahun, tidak diselesaikan,” ujar Yati usai persidangan.
“Pertimbangan putusan ini obyektif, ini koreksi sangat penting untuk Presiden, legislator sebagai pembentuk UU, dan penegak hukum Komnas HAM dan Jaksa Agung untuk menguji proses penyelidikan.”
Selanjutnya, dirinya akan menyampaikan putusan ini kepada pihak-pihak terkait, seperti Presiden, Jaksa Agung, Komnas HAM, DPR. “Kita berharap mereka menindaklanjuti semua pertimbangan putusan ini,” katanya.
Sebelumnya, lewat kuasa hukum dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), perwakilan keluarga korban pelanggaran HAM Tragedi 1998 yakni Paian Siahaan dan Ruyati Darwin mempersoalkan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM. Soalnya, proses penyelidikan Komnas HAM selalu bermasalah lantaran berkas dinilai kurang lengkap oleh Kejaksaan Agung.
Selain itu, frasa “kurang lengkap” ini disinyalir menjadi dalih penegak hukum untuk tidak memproses penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Pengalaman bolak-balik berkas antara Kejagung dan Komnas HAM mengakibatkan kerugian bagi keluarga para korban secara konstitusional dan hak mendapatkan keadilan.
Karena itu, pemohon minta MK menafsirkan frasa “kurang lengkap” lebih jelas yang bisa menjadi pegangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM masa lalu. Sehingga, drama bolak-balik berkas antara kedua lembaga negara itu tidak terjadi lagi.
(Kongres Advokat Indonesia)